Rabu, 30 April 2014

An Amour Chapter 1



An Amour


[Past of Memory] 

Chapter 1

A fanfiction by Zi_You
 
Title    : An Amour| Main Cast: Choi Siwon (Super Junior), Peizhi Lee(OC) | Genre: Romance | Duration : Chapter

Summary :
Percayalah, ini tidak hanya sekedar hubungan dan komitmen
Akan ada kesetiaan didalam hubungan ini.

*****

Note:
Choi Siwon and Andrew Choi is one person
Andrew Choi is west name of Choi Siwon.
.
Hope you like this fanfiction
and
happy reading!
.
..
PARIS, PERANCIS
May, 31 2012
08.00 PM
PEIZHI SIDE
Terlalu banyak seseorang yang datang dalam hidupku. Memaksaku seolah mengenal mereka lebih dari penampilannya. Memaksa masuk dalam memoriku, yang mungkin bagi mereka tiada habis kapasitasnya. Terlepas, mereka seseorang yang penting dalam hidupku atau tidak.
Dia salah satunya. Andrew Choi. Dia satu dari banyak pria yang ku jumpai. Ia sama dengan mereka. Ia memaksaku seolah mengenalnya lebih dari penampilannya.
Lelaki dengan perawakan tinggi kekar, itu cukup menyita perhatianku, kala pertemuanku dengannya, untuk pertama kali. Bahkan, walau iris matanya tak mengunci iris mataku, namun ia mampu membuat iris mataku terkunci di sana. Dan untuk sejenak, ia membuatku lupa bawa beberapa objek ada di sekitarku, tak hanya ia seorang.

Pertemuanku dengannya seolah telah direncanakan, di salah satu restaurant di Distric Paris itulah, kita bertemu. Ia terlihat mengesankan dengan setelan jas hitam formalnya. Juga sepasang paruh baya yang bersamanya. Senyum dari lesung pipinya membuatnya tidak hanya tampan, tapi juga manis.
Ketika langkah kakinya semakin mendekati meja tempatku sekarang, ia bersama sepasang paruh baya itu membungkukkan badannya. Pun dengan ibuku yang menyentuh sikuku, bermaksud memberitahuku untuk membungkukkan badanku, pula. Ia seolah membuatku membuyarkan iris mataku yang masih terkunci dalam iris matanya.
“Presdir Lee.” Suara bass milik salah seorang pasangan setengah baya itu.
“Oh, Presdir Choi. Silahkan duduk.” Ujar ayah, mempersilahkan tamu nya untuk duduk.
“Oh. Perkenalkan ini putri kami, Peizhi Lee.” Ucap ayah, lagi.
Kubungkukkan badanku. Penghormatan khas Korea itu masih ku pegang. Ayah seorang berkebangsaan Korea yang bekerja untuk perusahaan besar di Paris, sejak 10 tahun lalu. Sepasang paruh baya itu, tersenyum simpul. Lalu melakukan hal yang sama. Juga lelaki tampan di hadapanku. Ia juga membungkukkan badannya, hormat.
“Senang bertemu denganmu kembali, Nona Lee.” Ucapnya dengan aksen Korea yang terdengar sangat kental. Suara bassnya berucap lirih. Namun, masih terjangkau oleh indera pendengaranku. Oh apakah ada masalah dengan indera pendengaranku? Bertemu dengannya kembali?  Bukankah ini adalah pertemuan pertamaku, dengannya? Pernyataannya kini menimbulkan pertanyaan yang mulai berkecamuk dalam benakku.
“Dan ini putra pertama kami, Andrew Choi.” Namun, suara bass milik satu dari sepasang paruh baya di hadapanku ini membuyarkan pertanyaan dalam benakku. Membuatku menyungginggkan senyum simpulku, walau ku yakin lelaki di hadapanku ini tak menangkap keikhlasan dalam ulasan senyumku.
Keheningan mulai menyelimuti meja dengan 6 orang penghuni ini. Bahkan setelah salah satu paruh baya di hadapanku ini menyelesaikan frasa terakhirnya, tak ada seorang pun dari mereka yang berniat membuka pembicaraan, kembali.
Ku telangkupkan sendok dan garpu itu di atas piring keramik putih itu. Tangan kananku mulai meraih gelas putih di sampingku. Lantas menegak air putih di dalamnya. Walau ku rasa aroma beef steak itu masih menggugahku, namun ku rasa satu porsi beef steak  itu terlalu berlebihan untukku. Pun dengan selera makanku yang hilang entah kemana.
Ku lirik arloji ku, sekilas. Jarum pendek itu, menunjuk angka sembilan, pun dengan jarum panjangnya yang menunjuk angka dua belas. Pukul 09.00 PM untuk waktu daerah Paris.
Ku hembuskan nafasku dengan sedikit kasar. Makan malam ini terasa sedikit membosankan. Kendati demikian, aku tak dapat menolak ajakan ayah untuk makan malam yang ku rasa telah direncanakan. Ayah sedikit kerasa kepala untuk ini.
“Andrew, setelah makan malam, kau tidak keberatan bukan, jika mengantar Peizhi?” ucap salah satu dari sepasang paruh baya di hadapanku ini. Ia seolah memecahkan keheningan yang sedari tadi menyelimuti meja ini. Lantas membuatku mengalihkan perhatianku, padanya. Sedang di sebrang kursiku ia terlihat tersenyum simpul. Pun dengan lelaki tampan yang juga menyinggungkan senyum manisnya, pula.
“Oh, mungkin juga tidak ada salahnya jika kau menemani Andrew menyusuri jalanan Paris di malam hari.” Ucap ayah, yang seolah tertarik dengan ucapan lelaki paruh baya di hadapanku ini. Ku hembuskan nafasku, lagi.
‘Ini akan menjadi hari, dengan waktu yang ku siakan.’ Fikirku.
Terang saja, senja ketika aku disibukkan dengan setumpuk kertas untuk desain pakaian dari manajer ku, ayah dengan santainya masuk dalam ruanganku. Langkah kakinya yang menyeruak memenuhi ruanganku, semakin mendekat. Lantas tangan kekarnya menutup sebagian lembar kertas tersubut. Membuatku sedikit kesal dengan ulahnya. Pun membuatku dengan enggannya mendongkakkan kepalaku.
Ketika ku dapati wajah ayah di sana. Ia lantas menyunggingkan senyum simpulnya. Seolah mengejekku, bahwa ia mampu membuyarkan konsentrasiku.
“Cukup untuk konsentrasimu pada lembar kertas itu, Peizhi.” Ucapnya dengan suara bassnya, yang khas. Ku hembuskan nafas kesalku, lagi. Ini bukan ayahku yang ku kenal. Ia bahkan tak akan membuang tenaga, juga waktunya, untuk menjemputku.
“Waktuku masih tersisa 30 menit, untuk menyelesaikan tugas dari manajerku, ayah. Kau tak perlu repot-repot menjemputku seperti ini.” Ujarku seraya menatap manik matanya. Lantas mengalihkan perhatianku pada lembar kertas itu, kembali. Namun, tangan kanan kekarnya itu telah menyambut pergelangan tangan kananku, sebelum pandangan mataku jatuh pada lembaran kertas tersebut.
“Managermu telah mengizinkanmu pulang lebih awal dari rekan kerjamu yang lain. Kajja.” Ucapnya, lantas menarik pelan pergelangan tanganku. Kendati demikian, ia seolah memaksaku untuk lekas beranjak dari kursi kerjaku.
“Aku bukan gadis kecilmu, yang berusia 5 tahun, lagi ayah. Kau tahu usiaku berapa, ayah?” ujarku dengan nada setengah merajuk, padanya. Bahkan ia seperti tak mengindahkan pernyataanku. Masih saja membelakangiku.
Yeah,  ayah tahu usiamu, Peizhi. Namun, kau akan berbohong layaknya gadis kecil yang memecahkan guci ibunya, jika kau tahu tujuanku.” Ujarnya dengan badannya yang menghadap padaku.
“Memangnya kita akan kemana, ayah?”
“Akan ayah jelaskan setelah nanti kita sampai di rumah.” Ujarnya, lantas kembali menarik pergelangan tanganku.
Ini tak seperti yang ku bayangkan. Ayah jarangbahkan tak pernahmemaksaku seperti ini. Aku layaknya gadis kecilnya yang akan mendapat hukuman darinya, seolah aku melaukan kesalahn besar. Oh, apakah aku sekarang layaknya boneka cantik, untuknya?
“Jadi, kau tidak keberatan untuk menemani Andrew, Peizhi?” suara bass itu kembali menelusup gendang telingaku. Membuatku membuka kelopak mataku. Nada bicaranya kentara sekali seolah menginginkanku untuk menemani lelaki di hadapanku ini. Ku hembuskan nafas beratku, untuk kesekian kalinya, lantas mengumbar senyum simpulku, untuk merespon pertanyaan ayah.
***
            “Kau inginaku menemanimu, kemana?” ujarku memecah keheningan diantara aku, dan Andrewlelaki yang kini berada dalam kemudi mobilnya. Ia melirikku sekilas, sebelum akhirnya ia menyentuh kemudi mobilnya.
“Mungkin tak ada salahnya jika kau menemaniku berkunjung ke Notre Dome de Paris.” Frasa terakhirnya tersebut membuatku mendelik padanya. Ku lirik sekilas arlojiku. Lantas kembali menatapnya.
‘Bukankah ini sedikit larut, untuk seseorang berkunjung ke Notre Dome?’
“Kau.. yakin ingin ke Notre Dome?” ujarku. Iris mataku masih menelisik iris matanya walau ku yakin iris matanya masih terfokus pada jalan yang di laluinya.
“Mengapa tidak. Bukankah kau bersedia menemaniku untuk menelusuri jalanan Paris di malam hari?” ujarnya tanpa menoleh sedikit pun padaku.
Ku alihkan arah pandang indra penglihatanku, pada jalanan yang ia lalui. Alih-alih membiarkan iris mataku, tak lagi menatapnya. Ia kembali membuat suasana hatiku dalam keadaan buruk. Seharusnya, jika ayah tak memberikan pernyataan yang mendesakku, mungkin malam ini aku akan kembali berkutat pada setumpuk lembaran kertas itu. Dan ia semakin membuat waktuku terbuang sia-sia dengan permainannya ini.
“Tak usah khawatir, aku tak akan membuat orang tuamu cemas, dengan membawa putri semata wayangnya pergi terlalu lama dengan lelaki asing.” Ujarnya, dengan pandangan matanya yang tak pernah lepas dari jalanan yang ia lalui. Pun dengan penekanan pada kata terakhirnya. Seolah ia ingin menegaskan kepadaku bahwa ia bukan lelaki nakal yang akan membawaku terlalu lama.
Sesungguhnya bukan karena pernyataan ayah yang membuatku menemaninya, yang menjadikan kekhawatiranku. Namun, lebih dari itu. Aku khawatir akan waktu yang tak lagi berpihak kepadaku, saat aku akan menyelesaikan setumpuk lembar kertas putih dari managerku. Juga aku sedikit tak yakin tentang Notre Dome yang masih dibuka dengan waktu yang menunjukkan sedikit larut.
“Bukan itu maksudku. Kau
“Percaya pada ku, Peizhi.” Ujarnya menyakinkanku, lagi. Ia menatapku, dalam. Seolah menginginkanku mempercayainya lewat iris matanya yang tiada dusta. Sedetik kemudian, ketika lampu merah itu berganti menjadi hijau, ia melajukan kembali mobilnya. Pun dengan iris matanya yang tak lagi menatapku.
“Andrew, bukan itu maksudku. Aku sedikit tak yakin Notre Dome masih dibuka, ketika waktu semakin larut.” Ujarku, dengan sedikit menurunkan nada bicaraku.
“Tapi ku rasa jika kita sedikit membujuk pasturnya, kita masih memiliki waktu untuk menikmati keindahan Notre Dome. Percayalah.” Ujar lelaki tampan tersebut, seraya meyakinkanku lewat genggaman tangan kirinya pada permukaan tangan kananku.
***
            “Jika aku boleh tahu, mengapa kau sedikit bersikeras ingin ke tempat ini?” ucapku memecah keheningan antara aku dengan Andrewlelaki yang kini berjalan disampingku. Ia memasukkan jemarinya pada celana formalnya.
“Hanya ingin mengucapkan sebaris frasa pada Tuhan. Dan aku yakin ini tempat yang tepat.” Ujarnya, lantas melirikku, sekilas. Aku hanya mengangguk merespon ucapannya.
Gereja katredal ini, walau aku hanya mengikuti misa dua kali disini, tapi kekagumanku akan arsitekturnya, tiada henti. Bahkan berkunjung untuk ketiga kalinya dengan seseorang lelaki asing, bagi ku ada sebuah buncahan bahagia. Dan ku harap suatu saat nanti aku dapat kembali ke gereja ini, dengan gaun pengantinku. Pun dengan lelakiku yang akan mengucapkan janjinya di depan pastur, juga Tuhan.
Aku masih berdiri di dekat ambang pintu gereja katredal ini. Temeraman lampu yang menyeruak ke seluruh penjuru ruangan ini, membuat indra penglihatanku dapat dengan leluasa menelisik seluruh penjuru gereja ini. Sangat kontras dengan jalanan yang malam Paris yang terlihat sedikit gulita.
“Peizhi..” suara bass milik lelaki tampan itu, membuyarkan pandanganku pada penjuru gereja ini. Lantas ku pusatkan indra penglihatanku pada seorang lelaki tampan yang kini tengah duduk di salah satu bangku. Ia seolah menginginkanku mendekatinya.
Langkah kaki pun, kini mengikuti perintah iris mata coklatnya. Suara high heels putihku yang menyentuh lantai ini, terdengar menyeruak ke seluruh penjuru ruangan. Bahkan terdengar memecah keheningan pada gereja ini. Seolah mengisyaratkan bahwa hanya ada aku dan lelaki tamapan ini.
“Kau tak ingin mengucapkan sebaris frasa pada Tuhan?” ujarnya dengan iris matanya yang masih mengunci iris mataku, di sana.
“Oh ya, tentu.. Tentu aku tak ingin melewatkan kesempatan ini.”  Ucapku, seraya mendudukkan diriku pada bangku, disebelahnya.
Parasnya masih mengunci indra penglihatanku. Ku lihat ia menutup kelopak matanya, seraya menelangkupkan kedua tangannya di depan dadanya.
‘Ia tertihat... mengesankan.’
Aku hanya menghembuskan nafasku. Mencoba mengalihkan perhatianku darinya. Lantas mengikutinya, menutup kelopak mataku perlahan. Pun dengan kedua tanganku, yang ku telangkupkan di depan dadaku.
‘Tuhan, jika aku diberi kesempatan, ku harap suatu saat nanti aku dapat kembali ke gereja ini, dengan gaun pengantinku. Pun dengan lelakiku yang akan mengucapkan janjinya di depan pastur, juga pada-Mu.’
Ku buka perlahan kelopak mataku, bersamaan dengan hembusan nafasku yang ku hembuskan dalam satu tarikan nafas. Pun, dengan kedua tanganku yang ku turunkan Dan, ketika indra penglihatanku dapat menyesuaikan dengan temeraman lampu gereja, ekor mataku menangkap Andrew tengah melihatku. Entah telah berapa lama ia melihatku.
“Kau.. mengapa menatapku seperti itu?” ujarku pada Andrew yang masih saja tak ingin melepaskan iris matanya pada parasku. Ia masih membungkamkan mulutnya. Enggan untuk menjawab pertanyaanku. Bahkan seolah iris matanya terkunci pada parasku. Oh, adakah yang salah denganku?
“Apa yang kau ucapkan di depan Tuhan?” ucapnya, dengan iris matanya yang masih saja menatapku, dalam.
Aku tak lantas merespon ucapannya. Kini, berganti iris mataku yang terkunci pada iris mata coklatnya. Saat ku telusuri mata coklat kehitamannya, seperti ada sepenggal memoriku di dalamnya. Namun, itu hanya samar. Hanya terlihat gadis kecil berambut pirang yang mengenggam kedua tangan kekar teman lelakinya.
Detik berikutnya, aku lantas memejamkan mataku. Tak lagi terkunci pada iris mata coklat itu. Seiring dengan itu, gadis kecil berambut pirang itu semakin terlihat jelas. Namun, tidak dengan teman lelakinya, yang masih terlihat samar.
Dan semakin ku bongkah memori lamaku, semakin terasa sulit. Oh, apakah sesulit ini mengingat memori lama itu? Dan, apakah lelaki kecil itu, ada dalam masa depanku, nanti?
“Peizhi, kau tak apa?” ucap Andrew. Nada bicaranya kentara sekali ia seperti mengkhawatirkanku. Terlebih dengan kelopak mataku yang tertutup untuk beberapa saat. Pun mungkin ia akan melihat kedua alis ku yang nyaris bertemu.
“Aku tak apa, Andrew.” Ujarku, lantas mennyunggingkan senyum simpulku.
“Oh, mengenai pertanyaanmu tadi, aku..”

To be continued..





a/n :
Hai hai.. I’m comeback. Ini ff chapter pertamaku. Maaf kalo kurang ngefeel, atau apalah. Hehe. Masih dalam tahap belajar. Well, coment nya jangan lupa ya..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar ^^