An Amour
[Past of Memory]
Chapter 1
Chapter 1
A fanfiction by Zi_You
Title : An
Amour| Main Cast:
Choi Siwon (Super Junior), Peizhi
Lee(OC) | Genre:
Romance | Duration :
Chapter
Summary :
Percayalah, ini tidak hanya sekedar
hubungan dan komitmen
Akan ada kesetiaan didalam hubungan ini.
*****
Note:
Andrew Choi is west name of Choi Siwon.
.
Hope you like this fanfiction
and
happy reading!
.
..
PARIS, PERANCIS
May, 31 2012
08.00 PM
PEIZHI SIDE
Terlalu
banyak seseorang yang datang dalam hidupku. Memaksaku seolah mengenal mereka
lebih dari penampilannya. Memaksa masuk dalam memoriku, yang mungkin bagi
mereka tiada habis kapasitasnya. Terlepas,
mereka seseorang yang penting dalam hidupku atau tidak.
Dia salah satunya. Andrew Choi. Dia satu dari banyak pria
yang ku jumpai. Ia sama dengan mereka. Ia memaksaku seolah
mengenalnya lebih dari
penampilannya.
Lelaki dengan perawakan tinggi kekar, itu cukup menyita
perhatianku, kala pertemuanku dengannya, untuk pertama kali. Bahkan, walau iris
matanya tak mengunci iris mataku, namun ia mampu membuat iris mataku terkunci
di sana. Dan untuk sejenak, ia membuatku lupa bawa beberapa objek ada di
sekitarku, tak hanya ia seorang.
Pertemuanku dengannya seolah telah direncanakan, di salah
satu restaurant di Distric Paris itulah, kita bertemu. Ia terlihat mengesankan
dengan setelan jas hitam formalnya. Juga sepasang paruh baya yang bersamanya.
Senyum dari lesung pipinya membuatnya tidak hanya tampan, tapi juga manis.
Ketika langkah kakinya semakin mendekati meja tempatku
sekarang, ia bersama sepasang paruh baya itu membungkukkan badannya. Pun dengan
ibuku yang menyentuh sikuku, bermaksud memberitahuku untuk membungkukkan
badanku, pula. Ia seolah membuatku membuyarkan iris mataku yang masih terkunci
dalam iris matanya.
“Presdir Lee.” Suara bass milik salah seorang pasangan
setengah baya itu.
“Oh, Presdir Choi. Silahkan duduk.” Ujar ayah,
mempersilahkan tamu nya untuk duduk.
“Oh. Perkenalkan ini putri kami, Peizhi Lee.” Ucap ayah,
lagi.
Kubungkukkan badanku. Penghormatan khas Korea itu masih
ku pegang. Ayah seorang berkebangsaan Korea yang bekerja untuk perusahaan besar
di Paris, sejak 10 tahun lalu. Sepasang paruh baya itu, tersenyum simpul. Lalu
melakukan hal yang sama. Juga lelaki tampan di hadapanku. Ia juga membungkukkan
badannya, hormat.
“Senang bertemu denganmu kembali, Nona Lee.” Ucapnya
dengan aksen Korea yang terdengar sangat kental. Suara bassnya berucap lirih.
Namun, masih terjangkau oleh indera pendengaranku. Oh apakah ada masalah dengan
indera pendengaranku? Bertemu dengannya kembali? Bukankah ini adalah pertemuan pertamaku,
dengannya? Pernyataannya kini menimbulkan pertanyaan yang mulai berkecamuk
dalam benakku.
“Dan ini putra pertama kami, Andrew Choi.” Namun, suara
bass milik satu dari sepasang paruh baya di hadapanku ini membuyarkan
pertanyaan dalam benakku. Membuatku menyungginggkan senyum simpulku, walau ku
yakin lelaki di hadapanku ini tak menangkap keikhlasan dalam ulasan senyumku.
Keheningan mulai menyelimuti meja dengan 6 orang penghuni
ini. Bahkan setelah salah satu paruh baya di hadapanku ini menyelesaikan frasa
terakhirnya, tak ada seorang pun dari mereka yang berniat membuka pembicaraan,
kembali.
Ku telangkupkan sendok dan garpu itu di atas piring
keramik putih itu. Tangan kananku mulai meraih gelas putih di sampingku. Lantas
menegak air putih di dalamnya. Walau ku rasa aroma beef steak itu masih menggugahku, namun ku rasa satu porsi beef steak itu terlalu berlebihan untukku. Pun dengan
selera makanku yang hilang entah kemana.
Ku lirik arloji ku, sekilas. Jarum pendek itu, menunjuk
angka sembilan, pun dengan jarum panjangnya yang menunjuk angka dua belas. Pukul
09.00 PM untuk waktu daerah Paris.
Ku hembuskan nafasku dengan sedikit kasar. Makan malam
ini terasa sedikit membosankan. Kendati demikian, aku tak dapat menolak ajakan
ayah untuk makan malam yang ku rasa telah direncanakan. Ayah sedikit kerasa
kepala untuk ini.
“Andrew, setelah makan malam, kau tidak keberatan bukan,
jika mengantar Peizhi?” ucap salah satu dari sepasang paruh baya di hadapanku
ini. Ia seolah memecahkan keheningan yang sedari tadi menyelimuti meja ini.
Lantas membuatku mengalihkan perhatianku, padanya. Sedang di sebrang kursiku ia
terlihat tersenyum simpul. Pun dengan lelaki tampan yang juga menyinggungkan
senyum manisnya, pula.
“Oh, mungkin juga tidak ada salahnya jika kau menemani
Andrew menyusuri jalanan Paris di malam hari.” Ucap ayah, yang seolah tertarik
dengan ucapan lelaki paruh baya di hadapanku ini. Ku hembuskan nafasku, lagi.
‘Ini akan
menjadi hari, dengan waktu yang ku siakan.’ Fikirku.
Terang saja, senja ketika aku disibukkan dengan setumpuk
kertas untuk desain pakaian dari manajer ku, ayah dengan santainya masuk dalam
ruanganku. Langkah kakinya yang menyeruak memenuhi ruanganku, semakin mendekat.
Lantas tangan kekarnya menutup sebagian lembar kertas tersubut. Membuatku
sedikit kesal dengan ulahnya. Pun membuatku dengan enggannya mendongkakkan
kepalaku.
Ketika ku dapati wajah ayah di sana. Ia lantas
menyunggingkan senyum simpulnya. Seolah mengejekku, bahwa ia mampu membuyarkan
konsentrasiku.
“Cukup untuk konsentrasimu pada lembar kertas itu,
Peizhi.” Ucapnya dengan suara bassnya, yang khas. Ku hembuskan nafas kesalku,
lagi. Ini bukan ayahku yang ku kenal. Ia bahkan tak akan membuang tenaga, juga
waktunya, untuk menjemputku.
“Waktuku masih tersisa 30 menit, untuk menyelesaikan
tugas dari manajerku, ayah. Kau tak perlu repot-repot menjemputku seperti ini.”
Ujarku seraya menatap manik matanya. Lantas mengalihkan perhatianku pada lembar
kertas itu, kembali. Namun, tangan kanan kekarnya itu telah menyambut pergelangan
tangan kananku, sebelum pandangan mataku jatuh pada lembaran kertas tersebut.
“Managermu telah mengizinkanmu pulang lebih awal dari
rekan kerjamu yang lain. Kajja.”
Ucapnya, lantas menarik pelan pergelangan tanganku. Kendati demikian, ia seolah
memaksaku untuk lekas beranjak dari kursi kerjaku.
“Aku bukan gadis kecilmu, yang berusia 5 tahun, lagi
ayah. Kau tahu usiaku berapa, ayah?” ujarku dengan nada setengah merajuk,
padanya. Bahkan ia seperti tak mengindahkan pernyataanku. Masih saja membelakangiku.
“Yeah, ayah tahu usiamu, Peizhi. Namun, kau akan
berbohong layaknya gadis kecil yang memecahkan guci ibunya, jika kau tahu
tujuanku.” Ujarnya dengan badannya yang menghadap padaku.
“Memangnya kita akan kemana, ayah?”
“Akan ayah jelaskan setelah nanti kita sampai di rumah.” Ujarnya,
lantas kembali menarik pergelangan tanganku.
Ini tak seperti yang ku bayangkan. Ayah jarang—bahkan tak pernah—memaksaku seperti ini. Aku layaknya
gadis kecilnya yang akan mendapat hukuman darinya, seolah aku melaukan kesalahn
besar. Oh, apakah aku sekarang layaknya boneka cantik, untuknya?
“Jadi, kau
tidak keberatan untuk menemani Andrew, Peizhi?” suara bass itu kembali
menelusup gendang telingaku. Membuatku membuka kelopak mataku. Nada bicaranya
kentara sekali seolah menginginkanku untuk menemani lelaki di hadapanku ini. Ku
hembuskan nafas beratku, untuk kesekian kalinya, lantas mengumbar senyum
simpulku, untuk merespon pertanyaan ayah.
***
“Kau inginaku menemanimu, kemana?”
ujarku memecah keheningan diantara aku, dan Andrew—lelaki yang kini berada dalam kemudi
mobilnya. Ia melirikku sekilas, sebelum akhirnya ia menyentuh kemudi mobilnya.
“Mungkin tak
ada salahnya jika kau menemaniku berkunjung ke Notre Dome de Paris.” Frasa
terakhirnya tersebut membuatku mendelik padanya. Ku lirik sekilas arlojiku.
Lantas kembali menatapnya.
‘Bukankah ini sedikit larut, untuk seseorang berkunjung
ke Notre Dome?’
“Kau.. yakin
ingin ke Notre Dome?” ujarku. Iris mataku masih menelisik iris matanya walau ku
yakin iris matanya masih terfokus pada jalan yang di laluinya.
“Mengapa tidak.
Bukankah kau bersedia menemaniku untuk menelusuri jalanan Paris di malam hari?”
ujarnya tanpa menoleh sedikit pun padaku.
Ku alihkan arah
pandang indra penglihatanku, pada jalanan yang ia lalui. Alih-alih membiarkan
iris mataku, tak lagi menatapnya. Ia kembali membuat suasana hatiku dalam
keadaan buruk. Seharusnya, jika ayah tak memberikan pernyataan yang mendesakku,
mungkin malam ini aku akan kembali berkutat pada setumpuk lembaran kertas itu.
Dan ia semakin membuat waktuku terbuang sia-sia dengan permainannya ini.
“Tak usah
khawatir, aku tak akan membuat orang tuamu cemas, dengan membawa putri semata
wayangnya pergi terlalu lama dengan lelaki asing.” Ujarnya, dengan pandangan
matanya yang tak pernah lepas dari jalanan yang ia lalui. Pun dengan penekanan
pada kata terakhirnya. Seolah ia ingin menegaskan kepadaku bahwa ia bukan
lelaki nakal yang akan membawaku terlalu lama.
Sesungguhnya
bukan karena pernyataan ayah yang membuatku menemaninya, yang menjadikan
kekhawatiranku. Namun, lebih dari itu. Aku khawatir akan waktu yang tak lagi
berpihak kepadaku, saat aku akan menyelesaikan setumpuk lembar kertas putih
dari managerku. Juga aku sedikit tak yakin tentang Notre Dome yang masih dibuka
dengan waktu yang menunjukkan sedikit larut.
“Bukan itu
maksudku. Kau—”
“Percaya pada ku, Peizhi.” Ujarnya menyakinkanku, lagi.
Ia menatapku, dalam. Seolah menginginkanku mempercayainya lewat iris matanya
yang tiada dusta. Sedetik kemudian, ketika lampu merah itu berganti menjadi
hijau, ia melajukan kembali mobilnya. Pun dengan iris matanya yang tak lagi
menatapku.
“Andrew, bukan itu maksudku. Aku sedikit tak yakin Notre
Dome masih dibuka, ketika waktu semakin larut.” Ujarku, dengan sedikit
menurunkan nada bicaraku.
“Tapi ku rasa jika kita sedikit membujuk pasturnya, kita
masih memiliki waktu untuk menikmati keindahan Notre Dome. Percayalah.” Ujar
lelaki tampan tersebut, seraya meyakinkanku lewat genggaman tangan kirinya pada
permukaan tangan kananku.
***
“Jika aku boleh tahu, mengapa kau
sedikit bersikeras ingin ke tempat ini?” ucapku memecah keheningan antara aku
dengan Andrew—lelaki yang
kini berjalan disampingku. Ia memasukkan jemarinya pada celana formalnya.
“Hanya ingin
mengucapkan sebaris frasa pada Tuhan. Dan aku yakin ini tempat yang tepat.”
Ujarnya, lantas melirikku, sekilas. Aku hanya mengangguk merespon ucapannya.
Gereja katredal ini, walau aku hanya mengikuti misa dua
kali disini, tapi kekagumanku akan arsitekturnya, tiada henti. Bahkan
berkunjung untuk ketiga kalinya dengan seseorang lelaki asing, bagi ku ada
sebuah buncahan bahagia. Dan ku harap suatu saat nanti aku dapat kembali ke
gereja ini, dengan gaun pengantinku. Pun dengan lelakiku yang akan mengucapkan
janjinya di depan pastur, juga Tuhan.
Aku masih berdiri di dekat ambang pintu gereja katredal
ini. Temeraman lampu yang menyeruak ke seluruh penjuru ruangan ini, membuat
indra penglihatanku dapat dengan leluasa menelisik seluruh penjuru gereja ini.
Sangat kontras dengan jalanan yang malam Paris yang terlihat sedikit gulita.
“Peizhi..” suara bass milik lelaki tampan itu,
membuyarkan pandanganku pada penjuru gereja ini. Lantas ku pusatkan indra
penglihatanku pada seorang lelaki tampan yang kini tengah duduk di salah satu
bangku. Ia seolah menginginkanku mendekatinya.
Langkah kaki pun, kini mengikuti perintah iris mata
coklatnya. Suara high heels putihku
yang menyentuh lantai ini, terdengar menyeruak ke seluruh penjuru ruangan.
Bahkan terdengar memecah keheningan pada gereja ini. Seolah mengisyaratkan
bahwa hanya ada aku dan lelaki tamapan ini.
“Kau tak ingin mengucapkan sebaris frasa pada Tuhan?”
ujarnya dengan iris matanya yang masih mengunci iris mataku, di sana.
“Oh ya, tentu.. Tentu aku tak ingin melewatkan kesempatan
ini.” Ucapku, seraya mendudukkan diriku
pada bangku, disebelahnya.
Parasnya masih mengunci indra penglihatanku. Ku lihat ia
menutup kelopak matanya, seraya menelangkupkan kedua tangannya di depan
dadanya.
‘Ia
tertihat... mengesankan.’
Aku hanya menghembuskan nafasku. Mencoba mengalihkan
perhatianku darinya. Lantas mengikutinya, menutup kelopak mataku perlahan. Pun
dengan kedua tanganku, yang ku telangkupkan di depan dadaku.
‘Tuhan, jika aku
diberi kesempatan, ku harap suatu saat nanti aku dapat kembali ke gereja ini,
dengan gaun pengantinku. Pun dengan lelakiku yang akan mengucapkan janjinya di
depan pastur, juga pada-Mu.’
Ku buka perlahan kelopak mataku, bersamaan dengan
hembusan nafasku yang ku hembuskan dalam satu tarikan nafas. Pun, dengan kedua
tanganku yang ku turunkan Dan, ketika indra penglihatanku dapat menyesuaikan
dengan temeraman lampu gereja, ekor mataku menangkap Andrew tengah melihatku.
Entah telah berapa lama ia melihatku.
“Kau.. mengapa menatapku seperti itu?” ujarku pada Andrew
yang masih saja tak ingin melepaskan iris matanya pada parasku. Ia masih
membungkamkan mulutnya. Enggan untuk menjawab pertanyaanku. Bahkan seolah iris
matanya terkunci pada parasku. Oh, adakah yang salah denganku?
“Apa yang kau ucapkan di depan Tuhan?” ucapnya, dengan
iris matanya yang masih saja menatapku, dalam.
Aku tak lantas merespon ucapannya. Kini, berganti iris
mataku yang terkunci pada iris mata coklatnya. Saat ku telusuri mata coklat
kehitamannya, seperti ada sepenggal memoriku di dalamnya. Namun, itu hanya
samar. Hanya terlihat gadis kecil berambut pirang yang mengenggam kedua tangan
kekar teman lelakinya.
Detik berikutnya, aku lantas memejamkan mataku. Tak lagi
terkunci pada iris mata coklat itu. Seiring dengan itu, gadis kecil berambut
pirang itu semakin terlihat jelas. Namun, tidak dengan teman lelakinya, yang
masih terlihat samar.
Dan semakin ku bongkah memori lamaku, semakin terasa
sulit. Oh, apakah sesulit ini mengingat memori lama itu? Dan, apakah lelaki
kecil itu, ada dalam masa depanku, nanti?
“Peizhi, kau tak apa?” ucap Andrew. Nada bicaranya
kentara sekali ia seperti mengkhawatirkanku. Terlebih dengan kelopak mataku yang
tertutup untuk beberapa saat. Pun mungkin ia akan melihat kedua alis ku yang
nyaris bertemu.
“Aku tak apa, Andrew.” Ujarku, lantas mennyunggingkan
senyum simpulku.
“Oh, mengenai pertanyaanmu tadi, aku..”
To be continued..
a/n :
Hai hai.. I’m comeback. Ini ff chapter pertamaku. Maaf
kalo kurang ngefeel, atau apalah. Hehe. Masih dalam tahap belajar. Well, coment nya jangan lupa ya..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkomentar ^^