Sabtu, 08 Februari 2014

Love Is Sick



Love Is Sick



A fanfiction by Zi_You

Watch :  Teaser Video

Title : Love Is Sick | Main Cast : Kim Myung Soo, Song Na Young(OC) | Genre : Romance, (A little bit) Fluff, Hurt | Duration : One shoot


Summary :
Takdir terkadang menyakitkan
Mengubah apa yang kau rencanakan

****

“Do you know, the meaning fate is?”

Akan ku ceritakan kepadamu.
Secuil kisah antara aku, dia, dan takdir kita.

****


Sebuah kisah tentang kehidupanku, takdirku, dan cintaku, dengannya. Kau akan tahu arti kehidupanmu, air matamu, dan takdirmu, setelahnya. Takdir tidak akan memandang cinta pertamamu sebagai takdirmu. Tapi takdir, akan menuntunmu pada sebuah kisah yang abadi, walau harus dengan air mata.
Sebuah kisah, yang berawal dari pertemuanku kembali dengan seorang teman lelaki lamaku, setelah 5 tahun kita tenggelam dalam setumpuk lembar putih yang melelahkan mata. Pertemuan yang sangat ku harapkan pada 5 tahun terakhir ini. Di coffeshop distrik Seoul inilah, aku kembali bertemu bukan hanya dia, tapi juga teman lamaku. Teman lelaki lamaku itu masih sama. Masih dengan mata elangnya yang ku rindukan. Perasaanku padanya pun masih sama, seperti 5 tahun lalu. Selalu membuncah bahagia, saat paras tampannya berada di jarak terdekat dengan indera penglihatanku.  
Lelaki itu nampak berbicang dengan lelaki lain, namun sesaat terhenti, ketika ia menyadari kedatanganku. Mata elangnya mengunci mata hazelku. Seolah hanya pesonanya yang nampak pada mata hazelku, tiada pesona lain dari teman lelaki lamaku. Dan disana, di meja nomor 24, untuk pertama kalinya mata elangnya menatapku.Tatapan elangnya yang ku harapkan menatap mata hazelku, 5 tahun lalu.
 Tak seperti teman lamaku lainnya, yang datang bersama kekasihnya, ataupun tunangannya, dia sendiri. Lelaki bermata elang itu sendiri, tanpa seorang gadisnya.

“Na Young-a!” pekikan dari teman perempuanku itu, seolah tak menginginkan mata elang teman lelakiku mengunci mata hazelku terlalu lama. Ia melangkah mendekatiku, dengan kaki jenjangnya yang anggun. Balutan gaun hitam selutut, dengan rambut gelombangnya yang  tergerai, membuatnya lebih cantik, dari 5 tahun yang lalu. Ia Jung SooJung. 5 tahun lalu, kita seolah tak menunjukkan seorang teman akrab. Aku yang mulai menjauh, ketika ku dapati dia juga menyukai teman lelakiku itu.
“Oh, SooJung-a.” Ku umbar pula senyum simpul manisku, untuk memulai perbincangan akrab ini.
“Hey, bagaimana kabarmu? Dan, kau... sendiri?” Nada bicaranya kentara sekali ragu, ketika menyelesaikan frasanya. Ku dapati sepasang iris coklat kehitamannya melihat penampilanku. Bahkan iris coklat kehitamannya mulai menyisir penampilanku, mulai dari ujung kaki, hingga ujung kepala. Pun, ia tak mendapatiku menyisipkan jemariku pada tautan tangan dengan lelaki lain.
“Tak ada yang berubah dariku, SooJung-a. Pun dengan perasaan ku yang masih sama dengan 5 tahun lalu, hanya untuk teman lelaki lamaku. Bagaimana denganmu?” ucapku seraya mengumbar senyum manisku, di akhir frasaku. Iris coklat kehitamannya kini tak lagi menyisir penampilanku. Bahkan ku dapati binar dalam matanya.
“Aku berbeda denganmu. Aku menyerah pada perasaanku. Ternyata bukan dia lelaki dalam hatiku. Ada seorang lain yang mengisi hatiku. Dulu, sekarang, bahkan jika takdir mengizinkan, dia akan menjadi satu-satunya lelaki dalam hatiku.” Ku ikuti arah iris coklat kehitamannya berlabuh. Di sana, kudapati seorang lelaki yang membuat binar dalam mata SooJung terlihat. Lelaki berperawakan cukup jangkung, juga tubuhnya yang kurus. Rambut coklatnya tertata rapi, pun poni yang menutupi jidatnya. Membuatnya terlihat tidak hanya tampan, tetapi juga memperlihatkankan sisi menggemaskan.
“Bukankah itu Min Hyuk sunbae? Kau” Lelaki itu bukan lagi orang asing di kedua iris mataku. Lelaki yang ku kenal 5 tahun lalu sebagai pemimpin OSIS. Tak heran jika SooJung pun menjadikannya sebagai lelaki yang akan terukir dalam hatinya, selain teman lelaki lamaku itu, juga teman perempuanku yang lain.
apakah dia lelaki yang berhasil membuatmu melupakan teman lelaki lamaku? Dan menjadi lelakimu?” Terlihat jelas dalam iris mataku, anggukan kecilnya, juga semburat merah pada kedua belah pipinya.
“Kau juga harus mendapatkannya, Na Young-a.” Sikunya menyentuh pelan lengan kananku. Pun iris coklat kehitamannya yang arah pandangnya kini tertuju pada teman lelaki lamaku.
“Aku akan meminta pada takdirku, agar dia menjadi lelaki pelengkap hidupku.” Sebuah senyum manis ku sunggingkan kepadanya, sesaat sebelum frasaku terucap.
Ini seperti dalam permintaanku saat aku bertambah usia, nantinya.
Bernostalgia dengan memori lama, juga melepas rindu pada teman lelaki lamaku. 
 Seperti dewi fortuna yang mendengar rencanaku. Dan mengabulkannya lebih cepat dari yang ku kira. Oh, betapa takdir kini berpihak padaku.
“Oh, mari bergabung dengan yang lain.” Ucap Soojung, lantas menarik pergelangan tanganku.
Iris mataku menyisir ruangan yang beberapa jam lalu tak lagi terlihat lengang. Deguban musik  kini menggema ke seluruh ruangan ini. Kini, terlihat Park Hyung Shik tengah mengumbar senyum manis seraya melambaikan tangan kanannya pada ku, juga SooJung di balik pemutar musik itu. Teman-teman lamaku kini tak ayal layaknya segerombol lebah yang terdengar menyamakan deguban musik. Gelak tawa, juga geduban musik itu, kini seolah tak mengijinkan ku berucap sepatah kata pun.
“Jung SooJung! Song Na Young!” pekikan itu terdengar melengking, diantara deguban musik, juga gelak tawa yang menggema. Di sana, terlihat Choi Jinriteman perempuan lamaku yang kini tengah melambaikan tangan kanannya padaku, juga Jung SooJung. Teman perempuanku itu, tak kalah cantik dari Jung SooJung. Dengan balutan gaun putih selututnya juga  rambut coklat panjangnya yang ia ikat sebagian, membuatnya terlihat manis. Ia terlihat tak sendiri. Tangan kirinya bergelayut manja pada lengan kanan Choi Minhoteman lelaki lamaku, juga. Senyum manisnya nampak ia umbar, untuk sepersekian menit.
Kini, bukan hanya saja Choi Jinri, juga Choi Minho yang menyambut kedatanganku dengan senyum manisnya, tapi juga Kang Min Hyuk sunbae, Byun Baekhyun, dan Park Chorong. Oh, kecualidia, yang ku rasa tak menyumbar senyum manisnya. Ya, lelaki bermata elang itu, pun berada di meja yang sama dengan Jinri, Minho, Min Hyuk sunbae, Byun Baekhyun, Park Chorong. Di meja persegi panjang hitam itu. Ia masih saja dengan raut wajah dinginnya, juga mata elangnya, yang masih saja menyisir penampilanku. SooJung yang genggaman tangannya berada di pergelangan tanganku, masih saja menarikku. Rupanya ia tak memperhatikanku yang sedari tadi menghembuskan napas, dalam satu tarikan napasterlihat menghilangkan gugup dari kontak mata teman lelaki lamaku.
Untuk sepersekian detik, dalam meja hitam ini, tak seorang pun mengeluarkan sepatah kata. Hening. Bahkan ini tak kalah bedanya, saat tak seorang pun yang mengajakku berbicara, saat aku datang ke kafe ini.
Sampai akhirnya SooJung yangmungkin tak tahan dengan keadaan ini, pun meemecahkan keheningan ini. Pun dengan usulannya yang sepertinya ia ingin kembali ke masa 5 tahun lalu. Permainan truth or dare. Permainan beberapa menit itu, kini mengundang gelak tawa, kala mereka yang berada di hadapanku mengungkit privasi mereka, bahkan tak membuat teman lelaki lamaku itu, tak menunjukkan senyum manisnya.
Hingga sebuah pertanyaan dari SooJung, untuk kedua kalinya menghentikan tatapanku untuk teman lelaki lamaku itu, juga mengalihkan pandangan teman lelaki lamaku ituia menatapku sekarang.
“Na Young-a, siapa yang menurutmu tampan dari sekian lelaki di hadapanmu?” ujarnya. Ku telisik paras 4 lelaki di hadapanku ini. Kang Min Hyuk sunbae, Choi Minho, Byun Baekhyun, juga Kim Myung Sooteman lelaki lamaku, pun lelaki idamanku. Bukankah ini pertanyaan yang sangat simple, bahkan di sana ada seorang Kim Myung Soo? Tapi, lain halnya jika aku tak mampu mengontrol semburat merahku, jika ku sebut namanya.
“Kang Min Hyuk sunbae.” Ucapku.
“Ya! Na Young-a! Kau mau cari mati, hah?” SooJung seolah menginginkan untuk ‘mengakhiri’ berbicaraan akrab, sebagai teman dekat. Aku hanya tersenyum simpul, menanggapi pernyataannya. Pun, dengan temanku dalam satu meja hitam itutentu tidak dengan Kim Myung Soo yang masih dengan raut dinginnya. Bukan. Bukan maksudku membuat SooJung bertindak ‘seolah’ mengakhiri pembicaraan akrab, sebagai teman dekat ini. Hanya saja deguban jantungku yang seolah memuncah, dengan jarakku dengan Kim Myung Soo.
Ku lihat arloji putihku, sekilas. Sekedar menghilangkan kegugupanku. Pukul 22.45 untuk waktu Korea.
“Oh. Sepertinya ini sudah terlalu larut. Boleh aku pulang lebih awal dari kalian?” ucapku. Ku telisik raut wajah mereka yang duduk di hadapanku. Seperti tak ada protes, kecuali..
“Kau tidak bermaksud ‘kabur’ atas ucapanmu, bukan?”ucap SooJung, seolah menatap dalam iris mataku. Ia seolah menginginkanku ‘mempertanggung jawabkan’ ucapanku beberapa detik lalu.
“Tidak, SooJung. Ini jam malam baruku. Lagipula, jika kau memiliki Kang Min Hyuk sunbae, yang akan menghantarkanmu pulang, tidak denganku. Tidak seorangpun di ruangan ini yang akan menghantarkanku pulang.”
“Aku bahkan tak mempercayai ibumu membuat jam malam baru untuk seorang gadis yang telah 5 tahun lulus dari SMA. Bahkan kini telah tinggal di apartemen seorang diri.” Ucapnya dengan nada yang seolah mengejekku. Oh, apakah ia kembali menjadi SooJung dengan kata pedasnya? Tidakkah kau tahu SooJung, aku bahkan tak mampu untuk mengontrol deguban jantungku yang berada di jarak terdekat dengan Kim Myung Soo?
“Hanya seorang pecundang yang tak mengakui perasaannya.” Ucapnya lagi, yang tertangkap dari indra pendengaranku, saat aku bangkit dari kursiku.
Ternyata gulita malam semakin terlihat, kala kaki jenjangku keluar dari pintu coffeshop itu. Bahkan suara deguban musik dari Park Hyung Shik, kini berubah menjadi suara yang mencekik. Hening. Hanya beberapa klakson mobil yang terdengar. Bahkan lampu coffeshop tadi, yang terlihat terang, kini setelah kaki jenjangku tak berada di sana, terlihat sangat gelapuntuk gadis seukuranku. Bahkan aku tak yakin, masih ada bus yang menungguku. Haruskah aku menelfon kakak laki-lakiku atau ayahku, yang ku rasa kini mereka di meja lemburnya? Atau...
“Tidakkah ini terlalu malam, untuk gadis seusiamu?” suara itu nampak begitu asing, bagiku. Namun, tak asing untuk wajah yang ku dapati tengah menatap lurus. Walau hanya ku lihat dari sisi kirinya, sudah ku pastikan ia Kim Myung Soo. Dan benar saja. Ia teman lelaki lamaku, yang kini juga mentapaku.
“Bahkan bisa saja lelaki nakal di sekitar sini, mengancam nyawamu.” Aku hanya menanggapinya dengan senyum simpulku, sebelum akhirnya ku langkahkan kembali kaki jenjangku, yang beberapa detik lalu terhenti. Ia pun sama denganku. Kembali melajukan mobilnya. Oh, mungkinkah ia hanya menghentikan mobilnya sejenak, untuk sekedar mengucapkan frasa yang belum sempat ia ucapkan? Tidakkah ia sudi memberikan tumpangannya untukku?
Namun, aku salah dengan pernyataanku dengannya beberapa detik lalu. Rupanya, ia kembali. Masih dengan mobil, juga penampilan yang sama.
“Aku tidak akan membiarkan seorang gadis disentuh oleh lelaki nakal, itu.” Ujarnya, lantas ia menarik pergelangan tanganku. Tak hanya itu, ia pun membukakan pintu mobilnya untukku. Oh, apakah semua teman lamaku mengenalinya sebagai Kim Myung Soo yang berbaik hati? Ini seperti mimpi.
Hening. Bahkan ku rasa frasa terakhirnya terucap saat ia menarik pergelangan tanganku. Ia memfokuskan penglihaannya hanya pada jalanan Seoul yang terlihat lengang. Tak sedikit pun, ia alih kan perhatiannya, padaku.
Hingga ku rasa ia menghentikan mobilnya pada bangunan yang sangat ku kenal. Bukankah ini apartemenku? Bagaimana bisa ia mengetahuinya? Ku telisik matanya, mencoba mencari jawaban. Namun, ia tak di sana. Ku dapati suaranya yang seperti berada di jarak terdekat dengan indra pendengaranku.
“Mau sampai kapan kau disitu?” ucapnya. Ku putar kepalaku, menghadapnya. Ia di sana. Dengan tatapan mata elangnya yang terkesan dingin. Terlihat kini ia membukakan pintu mobilnya untukku.
“Oh. Terima kasih atas tumpangannya
“Jangan fikir, ini adalah tindakanku sebagai seorang lelaki. Ini hanya rasa kasihanku, terhadap seorang teman.” Ujarnya yang seolah membaca fikiranku. Bahkan saat ia memotong pembicaraanku, mata elangnya pun tak menatapku. Seolah aku adalah imajinasinya yang tak terlihat.
Aku pun, hanya membukukkan badankusebagai penghormatan perpisahanku, dengannya. Dan sedetik kemudian berlalu pergi. Meninggalkan ia seorang diri yang masih saja berdiri pada pintu yang ia bukakakn untukku.
-o0o-
Titik-titik air itu dengan ringannya turun dari gumpalan awan putih, membuat basah tanah Seoul, yang beberapa detik lalu masih telah mengeringwalau sebagian masih basah. Iris mataku masih saja menyisir titik-titik air itu. Lalu, sedetik kemudian kelopak mataku tertutup. Menghirup dalam aroma tanah basah, juga aroma latte yang berbaur menjadi satu. Helaan nafas dalam satu tarikan nafas, membuat kelopak mataku terbuka. Pun, menimbulkan kaca bening di depanku ternodai dengan helaan uadaraku, yang berubah menjadi titik-titik air. Lalu, jemariku pun mengalun pelan pada kaca bening itu. Sedetik kemudian, kaca beninng itu ternodai dengan Hangeul yang ku tuliskan. Walau, mungkin terlihat samar, namun akumungkin juga seorang lain yang menempati meja ini masih dapat membacanya.
‘Saranghaeyo’
Hanya senyum simpul yang ku umbar, ketika tulisan yang menodai kaca bening itu terucap kembali dalam benakku.
‘Ku harap kau takdirku, dan menjadi lelaki terakhirku.’
Ku alihkan pandanganku pada latte yang beberapa detik lalu ku biarkan asapnya mengepul, tanpa ku tiup pelan. Lalu, ku sesap pelan latte ini, sesekali menghirup aromanya. Akan lebih baik jika seseorang mengajakku berbicara, agar keheningan tak mencekikku, Kim Myung Soo, mungkin.
Ku lihat sekilas arloji putihku. Alih-alih menghilangkan fikiranku dari Kim Myung Soo. Pukul 05.00 sore untuk waktu bagian Korea. Oh, mungkin sebaiknya aku bergegas pulang, sebelum titik-titik air itu bertambah deras.
Ternyata penglihatan dan pernyataanku salah. Titik-titik air yang ku lihat dari balik kaca bening itu, kini tak seperti yang ku fikirkan. Semakin deras, kala kaki jenjangku telah berada di luar kafe. Udara dingin pun, kini menusuk kulitku. Ku rekatkan kedua lenganku, juga ku usap pelan lenganku, berharap udara dingin tak lagi menusuk kulit. Sebuah kesalahan yang terlalu bodoh, meninggalkan payungku di apartemen. Aku hanya mendengkus pelan. Lalu, sedetik kemudian kaki jenjangku melangkah, menjauhi kafe tersebut. Menerjang titik-titik air yang semakin deras. Langkahku terhenti ketika titik-titik air itu tak lagi membasahiku. Ku dongkakkan kepalaku. Ku dapati dia di sana, dengan jaket kulit hitamnya yang menghalau titik-titik air. Dia, teman lelaki lamaku. Dari balik kacamata hitam, juga topi hitamnya, aku masih mengenalinya.
“Myung..” ucap ku lirih, yang ku rasa ia indra pendengarannya masih mampu menangkap suaraku. Ia menoleh sekilas padaku. Lalu pandangannya kini tertuju lurus pada titik-titik air itu.
“Jangan sebut namaku, jika kau tak ingin mereka mengetahuiku, bersamamu, juga sebelum titik-titik air kembali menerjangmu.”ucapnya yang masih terdengar jelas, di telingaku, walau titik-titik air itu menyamarkan suaranya.
Terkadang aku heran dengan penglihatan juga pendengaranku. 5 tahun lalu. Kim Myung Soo yang ku kenal, adalah lelaki beraut wajah dingin, juga tatapan mata elangnya yang jarang, bahkan tak pernah menatapku. Dan mungkin, untuk mengingat namaku saja, ia kesulitan. Namun, pendengaranku berkata lain. Setelah 5 tahun itu, setelah pertemuan ku kembali dengannya, pendengaranku menangakap sisi lain dari seorang Kim Myung Soo. Ia kini terkesan sebagai lelaki yang memperhatikan seorang yang mungkin baginya mengingat nama saja kesulitan.
“Mereka? Mereka maksudmu netizen?” Aku mulai paham dengan arah pembicaraannya, yang beberapa detik lalu membuatku bingung. Bagaimana tidak, seorang hallayu star seperti dia, tak mungkin selamanya akan terbebas dari netizen yang selalu mengejarnya.
Ku ikuti langkah kakinya. Walau terkadang titik-titik air yang jatuh tepat di atas tanah itu, sesekali menodai kaki jenjangku. Namun, aku tak sekalipun menggerutu kesal, alih-alih ini adalah waktu kedua kali yang tak akan ku lewatkan. Berdiri di samping Myung Soo, di jarak yang terdekat dengannya.
Langkah kakinya terhenti, tepat pada halte bus. Ia menurunkan jaket kulitnya. Lalu mengenakannya tepat pada kedua bahuku.
“Ini untuk menghindarimu, dari udara dingin yang mungkin akan menusuk kulitmu. Sampai jumpa.” Ucapnya. Ia sedikit membenahi letak jaketnya pada bahuku, sebelum akhirnya ia melangkah menjauhiku.
“Myung..” ucapanku terputus, ketika mengingat ucapannya beberapa menit lalu. Ia pun memutar tubuhnya, menghadapku. Tak ada tatapan sendu darinya. Bahkan kini mata elang itu, menatapku tajam.
“Oh, maaf. Bagaimana denganmu, jika jaketmu untukku?” Raut wajah dinginnya, kini berubah dengan senyum manisnya. Oh, senyum manis yang jarang ia perlihatkan untukku. Ia tak menanggapi ucapanku, hanya jemari telunjuk, manis, dan kelingking yang ia satukan untuk menjawab pertanyaanku, yang seolah berucap‘Aku tak apa.’
Sedetik kemudian ia melangkahkan kakinya. Menerjang hujan yang mungkin akan membasahinya, lebih cepat dariku.
-o0o-

Yeoboseo, Na Young-a” Terdengar nada sambung dari nomer ponsel yang ku panggil. Lalu sedetik kemudian suara yang sangat ku kenal menjawab panggilanku dengan nada seraknya. Sudah ku pastikan ia masih terlilit dengan selimut tebalnya. Bahkan aku yakin, kelopak matanya belum terbuka sepenuhnya.
“Oh, maaf mengganggumu, SooJung-a. Aku hanya ingin menanyakan alamat yang kau berikan kepadaku. Apakah kau yakin alamat itu, akan tertuju pada apartemen pribadi Myung Soo?” ucapku, seraya memperhatikan sederet Hangeul yang tertulis pada secarik kertas putih. Menunjukkan alamat apartemen pribadi Myung Soo, serta nomer ponselnya
“Hah! Kau meragukan alamat itu? Kau tahu, bahkan aku bersama Min Hyuk sering ke apartemennya.” Ucapnya yang di akhiri dengan dengkusan kesalnya.
“Oh, Oke. Aku bukannya tak mempercayaimu, hanya untuk memastikan. Lalu aku harus bagaimana sekarang? Aku bahkan telah berada di depan pintu apartemen Myung Soo.” Ucapku yang kini tengah dijalari dengan rasa gugupku.
“Kau hanya perlu mengetuk pintunya. Atau jika kau ragu mengetuk pintunya, kau hanya perlu menelfon nomer ponselnya yang telah ku berikan. Apa susahnya?” ucapnya, dengan emosi yang ku kira tak dapat ia kontrol. Salahku memang. Mengganggu tidurnya, dengan menelfonnya.
“Oh, terima kasih, SooJung. Dan” ucapanku terhenti, kala sambungan telfon dariku, ia putus sepihak. Aku hanya mampu menghela nafas, menghilangkan rasa bersalahku, juga kegugupanku.
Ku hembuskan nafasku sedikit kasar, berusaha menghilangkan kegugupanku. Tangan kananku mulai terayun, beberapa senti dari pintu coklat itu. Sedangkan tangan yang lain ku gunakan meremas ujung jaket kulit hitam itu. Kelopak mata ku terpejam sesaat. Merasakan kegugupan yang mencekik ini.
Namun, sedetik kemudian kelopak mataku terbuka, ketika ku dapati pintu coklat itu terbuka. Menampakkan seorang lelaki, yang ku pastikan ia berumur lebih tua dari Myung Soo. Oh, tidak! Apakah aku berada dalam apartemen yang salah?
Nuguseyo?” ujar lelaki yang berada di hadapanku ini, dengan suara beratnya yang khas dimiliki seorang lelaki.
“Oh.. Aku.. teman Kim Myung Soo. Benarkah ini alamat apartemen Kim Myung Soo?” ucapku. Lelaki itu, nampak menyisir penampilanku dari ujung kepala, hingga ujung kakiku. Nampak persis dengan Myung Soo, ketika aku berada dalam apitan pintu coffeshop, beberapa hari lalu. Namun, raut wajahnya tak seperti Myung Soo, yang nampak dingin. Ia terkesan lebih ramah dari Myung Soo.
“Aku teman satu angkatannya. Tentu bukan saseang fans-nya. Percayalah.” Ucapku, berusaha meyakinkannya. Siapapun dia, mungkin tidak akan percaya 100% dengan ucapanku tadi. Mungkin saja ia mengira aku adalah fans fanatik Myung Soo.
“Kau mencari Myung Soo? Ia ada di dalam. Di dalam kamarnya.” Ujarnya yang sedikit membuatku lega, dengan kepercayaannya. Juga dengan tatapannya yang tak lagi menyisir penampilanku. Namun, kata terakhirnya sedikit membuatku tercekat. Tidakkah aku akan menjadi tamu yang tak sopan, jika hanya ingin mengembalikan jaket kulitnya saja, aku harus masuk ke dalam kamarnya? Oh, Tuhan. Harus bagaimanakah aku sekarang?
“L, kau aku tinggal sendiri, tak masalah bukan? Aku akan mengatur jadwalmu. Oh, ada teman perempuanmu di sini. Ia akan menemanimu.” Ujarnya yang ku rasa terdengar hingga kamar Myung Soo. Lelaki itu, kembali menatapku.
“Aku manager L, oh maksudku Myung Soo. Senang bertemu denganmu. Maaf atas tindakanku tadi. Myung Soo ada di kamarnya. Aku percaya kau.” Ujarnya, yang diakhiri bungkukkan badannya. Ia menepuk bahuku pelan, lalu beranjak pergi meninggalkanku.
Ku buka perlahan pintu coklat itu. Ruangan ini tampak lengang. Bahkan desiran angin musim dingin, terdengar menyeruak dalam ruangan ini. Iris mataku menyisir ruangan lenggang ini. Mencoba menebak kamar Myung Soo. Pandangan mataku, kini berlabuh pada sebuah ruangan dengan pintu coklat yang sedikit terbuka. Ku langkahkan kakiku menuju ruangan tersebut.
“Myung..” ujarku, dengan alis mataku yang sedikit terangkat. Ya, ragu akan keputusanku untuk memanggil namanya, juga melangkah lebih jauh, memasuki ruangan ini.
“Masuklah.” Ujar suara lemah itu. Ku pastikan itu suara Myung Soo.
‘Bodoh! Siapa lagi orang lain dalam ruangan ini selain kau dan Myung Soo, Na Young?’ runtukku dalam hati.
Ku langkahkan perlahan kaki jenjangku memasuki ruangan ini. Di sini. Diantara apitan pintu coklat itu, aku dapat melihatnya yang masih tertutup dengan selimut tebalnya, hingga menutupi hampir seluruh badannya. Mungkin itu karena ia bukan malas beranjak dari tempat tidurnya, tapi sesuatu yang lain.
Semakin ku dekati dia, semakin terlihat wajah pucatnya, juga sebuah kain di atas jidatnya. Ku langkahkan kakiku mendekatinya. Ia di sana. Dengan mata yang masih terpejam. Namun, ku yakin ia mampu mendengar langkahku. Lalu tangan kiriku yang sedari tadi disandari oleh jaket kulitnya, kini terulur. Meletakkan jaket kulit tersebut pada meja di dekatnya.
“Myung, sebenarnya aku ke sini, hanya untuk mengembalikan jaket kulitmu. Aku
“Jangan tinggalkan aku. Tetaplah di sini.” Ujarnya dengan nada lemah. Tangan kanannya kini terulur menggapai pergelangan tangan kiriku. Lalu menahannya di sana.
“Tapi, aku
“Tetaplah di sini.” Lagi, ia mengucapkan frasa yang sama dengan frasanya beberapa detik lalu. Bahkan kini ia mencengkram pergelangan tanganku dengan kuat. Seolah ia menginginkanku tetap di sini. Duduk di sampingnya.
Kini, setelah frasa terakhirnya, seolah kami diselimuti keheningan. Bahkan angin musim dingin yang menerbangkan tirai putih miliknya, pun menerbangkan anak rambutku. Dapat ku lihat jelas wajah damainya, dengan kelopak mata yang masih tertutup. Melihatnya di jarak terdekat ini, seperti keinginnanku 5 tahun lalu. Hanya sunggingan senyum di kedua ujung bibirku, jika mengingatnya.
Iris mataku mulai menyisir ruangan Myung Soo ini. Nampak tertata rapi untuk seorang lelaki. Pandangan mataku pun berlabuh pada meja juga kaca besar di depannya. Ku pertajam penglihatanku. Terdapat sebuah foto di ujung atas kaca besar tersebut. Seperti aku mengenalnya, walau diambil dari sisi samping. Gadis dengan gaun soft pink-nya, juga rambut coklat gelombangnya yang tergerai.
“Jangan melihat foto gadis yang ku sukai. Belum saatnya aku memberitahu publik tentang dia.”
-o0o-
Merasakan satu kataBahagiaitu mudah. Ketika jarak pandang indra penglihatanku berada di jarak terdekat dengan Kim Myung Soo. Ketika senyum manis itu mengembang di kedua sudut bibirnya. Ketika deguban jantungku tak terkontrol, melihatnya. Itulah saat aku merasakan satu kata. Bahagia.
Dan aku merasakan buncahan bahagia itu, sekarang. Di sini. Di tempat ku berdiri, ia pun juga berdiri disampingku. Dengan balutan kemeja hitam, celana jens hitam, kacamata, juga topi yang berwarna sama. Ia terlihat seperti L. Bukan Kim Myung Soo.
Beberapa detik lalu, ia mengayunkan telunjuknya. Lalu mencolekkan ice cream yang ia dapat dari genggamanku, pada hidungku. Membuatku mengalihkan perhatianku padanya, yang aku pun tak tahu dari mana ia mengetahui keberadaanku.
“Myung..” ucapku, lantas memincingkan mataku. Mempertajam penglihatanku. Ia hanya menolehkan kepalanya, menatapku dari balik kacamata hitamnya. Lantas mendaratkan telunjuknya pada bibirku.
“Oh, maaf.” Ucapku, yang seolah teringat ucapannya beberapa hari lalu. Jangan sebut namaku, jika kau tak ingin mereka mengetahuiku, bersamamu.’
 Ia tersenyum, lagi. Menanggapi ucapanku. Senyum yang selalu terlihat manis.
“Tak masalah.” Ucap nya, seraya meletakkan lengannnya pada bahuku. Membuatku sontak terkejut atas perlakuannya. Untuk pertama kalinya, ia merangkulku. Bahkan, aku tak pernah membayangkan ini terjadi padaku.
“Jangan hanya terpesona denganku, hingga kau tak berdekip sedikitpun. Mari bersenang-senang untuk hari ini.” Ucapannya lantas membuatku melepaskan kontak mata dengannya. Ini memalukan. Sangat memalukan,saat ia mengetahui aku tengah menatap wajah tampannya.
Ia lantas menurunkan tangannya dari bahuku. Lalu jemarinya menyisip melalui sela-sela jemariku. Menahan jemariku, di sana.
“Apa kau tak apa, jika bersamaku? Maksudku
“Tak apa asal kau tak menyebut namaku. Mari bersenang-senang untuk hari ini.” Ucapnya. Lagi, ia mengulang perkataannya beberapa detik lalu. Ia lantas menarik tanganku, yang berada dalam tautan jemarinya. Seolah menginginkanku mengikuti langkah kakinya.
-o0o-
Sebuah kataBahagiaitu bagiku bukan hanya tujuh huruf, dalam satu kata. Tapi lebih dari itu. Bahkan untuk setengah hari yang ku habiskan dengan Myung Soo, entah berapa kali rasa bahagia itu membuncah dalam hatiku.
Terlebih dia yang kini menggendongku dalam punggungnya. Juga kedua tanganku yang melingkar pada lehernya. Membuatku aroma feromonnya menusuk hidungku. Juga membuat kelopak mataku tertutup untuk beberapa detik. Menikmati aroma feromonnya. Juga dengan kepalaku yang bersandar di sana.
“Apa kau akan membuat punggungku sakit?” ucapannya seolah membuat kelopak mataku terbuka. Iris mataku menelisik sekitarku. Oh, seberapa cepat Myung Soo melangkahkan kakinya? Hingga tanpa ku sadari ia telah membawaku pada tepi pantai, yang terlihat lengang.
“Na Young-a..” ucapnya, lagi. Seolah ia menginginkanku untuk segera turun dari gendongannya.
“Oh maaf.”
Dan di sini kita berada. Di bibir pantai dengan deburan ombak yang masih saja mengalun. Mengisi keheningan diantara aku, juga Myung Soo. Senja baru saja dimulai. Matahari mulai menenggelamkan dirinya di ufuk Barat. Sinar bias jingga kemerahannya mulai menyeruak ke seluruh penjuru. Membuat warna biru laut seolah tertutup dengan bias jingga tersebut.
“Na Young-a, sadarkah kau? Pertemanan ini, bahkan ku kira melebihi pertemanan seorang lelaki dengan seorang gadis.” Ucapnya membuka perbincangan akrab ini.
“Lalu, kau akan mengakhiri pertemanan ini?” Ada sedikit nada kecewa, di setiap kata yang ku ucapkan. Mungkinkah ia tak mengingnkanku untuk menjadi temannya, lagi?
“Na Young-a..”
“Ya.” Ucapku singkat. Ku tolehkan pandanganku, padanya. Ku dapati iris matanya menatapku. Seolah menginginkanku untuk tak menatap objek lain, selain dia seorang.
“Aku ingin berbicara serius. Dengarkan aku..” Kini ia bukan saja mengunci pandanganku, dari objek lain. Tapi ia juga mengayunkan kedua tangannya pada kepalaku. Seolah menginginkanku menatap keseriusan dalam mata elangnya.
“Ya. Aku ingin mengakhiri pertemananku denganmu.” Perkataannya seolah membuat tenggorokanku tercekat. Mungkinkah selama aku berada di sampingnya, ia selalu dalam kesulitan?
“Tapi aku menginginkan lebih dari pertemanan antara seorang lelaki dengan seorang gadis. Karena bagiku, pertemanan antara seorang lelaki dengan seorang gadis itu tak ada. Oleh karena itu, bolehkah aku menjadi salah satu alasan kebahagiaanmu? Dan bolehkah aku menjadi lelaki terakhir dalam takdirmu?” Namun, kalimat terakhirnya semakin membuat tenggorokanku tercekat. Hingga untuk menarik nafas saja, aku lupa bagaimana caranya. Tanpa ku sadari bulir air mata itu, kini telah di ujung pelupuk mataku. Hingga ketika kepalaku menggangguk kecil, bulir air mata itu telah menuruni pipiku.
Tanpa kau memintanya, aku akan menjadikan mu lelaki terakhir dalam takdirku, Kim Myung Soo.
Hening sejenak. Bahkan setelah pernyataan Myung Soo beberapa menit lalu, baik aku maupun dia, kini tak saling melontarkan pernyataan. Hingga akhirnya aku pun memulai membuka pembicaraan.
“Myung, bolehkah aku bertanya sesuatu?”
“Apa?”
“Mengapa saat 5 tahun lalu, hingga pertemuanku denganmu di choffeshop, kemarin, kau seolah menunjukkan raut wajahmu, yang terkesan dingin,— ”
“Cuek, hingga tak menghargai keberadaanmu, begitu?” ucapnya, yang seolah mengetahui arah pembicaraanku.
“Itu karena aku berada dalam kendali L, bukan Kim Myung Soo. L tak akan menjadi pribadi yang baik di depan seorang gadis. Bukankah Kim Myung Soo yang kau kenal sekarang ini terlihat lebih baik dari L? Peduli dengan gadis yang ia sukai, dan hanya mengumbar senyum manisnya untuk gadisnya. Karena itu, L dan Kim Myung Soo itu, dua nama dengan kepribadian yang berbeda.” Ucapnya panjang lebar. Aku pun hanya mengangguk paham, sebagai merespon ucapannya.
“Lalu, bolehkah aku mengajukan sebuah pernyataan.” Ucapku, seraya mengayunkan telunjukku di hadapannya. Dan membuatnya mengernyitkan kedua alisnya.
“Apa?”
“Bisakah jika kau berada di hadapanku, kau menjadi seorang Kim Myung Soo? Dan menjadi seorang L, dalam pekerjaanmu?” ucapku. Ia nampak berfikir sejenak. Lantas, sedetik kemudian, ia menggangukkan kepalanya.  
-o0o-
Senja baru saja tiba, matahari baru saja merangkak ke arah ufuk Barat. Tinggalkan bias-bias jingga, dan merah tua yang menyeruak ke suluruh penjuru kota. Tapi, aku masih saja tertahan di sini. Di atap gedung tua. Menyaksikan senja yang anggun, sendiri. Tanpa Myung Soo. Beberapa kali angin musim gugur menerbangkan anak rambutku. Juga beberapa kali itu pula, aku menghembuskan nafas berat, menunggunya. Menunggu Myung Soo yang masih menunjukkan kemampuannya di depan kamera. Namun, ia berjanji kepadaku akan menemuiku di sini.
“Menunggu seseorang, Na Young?” ucap sebuah suara, yang ku pastikan suara berat itu milik seorang lelaki. Ku putar kepalaku menghadapnya. Dan ku hembuskan nafasku sedikit kasar, mendapati dia yang tak di sana. Melainkan orang lain.
“Ya. Menunggu lelakiku—Myung Soo. Apa dia tak apa jika kau berada di sini?” ucapku, dengan seutas senyum di akhir frasaku. Ia pun sama. Sengumbar senyum di kedua sudut bibirnya. Senyum yang manis.
“Dia akan lebih mencari lawan mainnya, dari pada aku. Tak usah khawatir.” Ujarnya. Ia melangkah mendekatiku. Lantas mendudukkan dirinya pada bangku, di sampigku.
“Apa dia masih memiliki waktu break? Atau berapa lama lagi, dia akan menyelesaikan adegan terakhirnya untuk hari ini?” ucapku, lagi. Ia tak lantas menjawab. Namun, memilih menyisir penampilanku dari ujung kepala, hingga ujung kaki. Pun dengan kue yang sejak tadi di atas pahaku, yang masih tertutup rapat.
“Mungkin tak lama lagi. Bahkan sebelum cream dalam kuemu meleleh.” Ujarnya yang lagi-lagi diiringin senyum manisnya.
            Sebuah getaran ponselku, membuatku tak lagi memandang senyum manisnya. Satu panggilan dari Myung Soo.
Yeoboseo, Myung..” ucapku. Namun, ia tak lantas menjawab. Membiarkan sambungan telefonnya dilanda keheningan. Oh, apakah ia terlalu lelah, untuk menjawab sapaanku?
“Myung, apa kau telah menyelesaikan adegan terakhirmu untuk hari ini? Aku menunggumu di tempat yang kau janjikan.” Ucapku, lagi.
“Myung, kau mendengarkanku? Kau dimana?” lagi, untuk kesekian kalinya ucapanku tak mendapat respon yang baik darinya. Kini lelaki disampingku ini—manager Myung Soo—pun menoleh ke arah ku, setelah sekian detik ia hanya mendengarkan ucapanku.
“Aku di sini.” Ucap Myung Soo akhirnya. Namun, sebuah pertanyaan terlintas dalam benakku. Apa yang membuat dia menjadi L, dihadapanku? Bukankah ia berjanji akan menjadi Kim Myung Soo?
I see you.” Ucapnya, lagi. Sontak frasanya membuat tenggorokanku tercekat. Mungkinkah ia di sini? Di atap gedung tua ini, juga? Ku balikkan badanku. Menelisik sekitar gedung ini. Kini pandanganku berlabuh pada seorang lelaki, dengan ponsel di telinganya. Dan benar. Dia lelakiku. Kim Myung Soo.
“Myung, aku—” ucapanku terputus seketika ia memutuskan panggilannya tanpa menungguku menyelesaikan frasaku. Ia pun berlalu pergi. Hanya hembusan nafas berat dari hidungku, yang menghantarkan kepergiannya.
“Mungkin dia benar. Akhir-akhir ini, ia berambisi ingin segera menyelesaikan dramanya, hanya untuk mencari waktu luang untukmu, juga mungkin kejutan kecilmu.” Ucap lelaki itu, yang membuatku mengalihkan pandanganku dari tubuh Myung Soo yang kini tak terlihat lagi.
“Berikan ini padanya. Katakan ini dariku, untuk hari jadi ku dengannya.”
-o0o-
Namun, mungkin ada saatnya ketika Myung Soo tak berada di sampingku, ataupun ia di sampingku, sebuah kataBahagiaitu tak muncul dalam benakku. Tergantikan dengan sebuah kataKecewadalam benakku. Juga tergantikan dengan air mata, atas perlakuannya.
Bahkan getaran yang terdengar berulang itu tak kuhiraukan. Biarlah dia menghubungiku berkali-kali, itu tak akan membuat suasana hatiku berubah. Aku hanya melihat sekilas, tanpa berniat menyentuhnya.
Namun, getaran itu tak kunjung berhenti. Masih saja berkedip menampilkan nama ‘Kim Myung Soo’. Oh, apakah aku terlalu berlebihan mendiamkannya?
Yeoboseyo.” Panggilan itu, akhirnya meluluhkanku. Bahkan kini tak terhitung lagi berapa kali hembusan nafasku keluar dari hidungku. Menutupi kekesalanku padanya.
“Na Young-a..”
“Bisakah aku berbicara dengan Myung Soo, L-sshi?” kini suara beratnya tak lagi terdengar, semenjak frasa terakhirnya terucap. Hanya keheningan dalam sambungan telefon itu.
Aku hanya mampu menggigit bibir bawahku, setelah menyelesaikan frasaku. Mencoba menahan bulir air mataku, yang ku rasa telah di ujung pelupuk mataku. Namun, semakin lama ku gigit bibir bawahku, semakin bulir air mata itu tak terkontrol menulusuri ke dua belah pipiku. Hanya hembusan nafas pelan, yang menutupi deru nafasku.
“Jika Myung Soo berada di dekatmu, berikan sambungan telepon ini padaya. Juga jika dia bukan seorang pecundang.”  Ucapku. Mungkin baginya akan terdengar suaraku yang mencoba meredam tangis. Sedetik kemudian, ku jauhkan ponselku dari telingaku, lalu menutup layar depannya dengan cengkraman tanganku. Bukan. Bukan menutup sambungan telefonnya. Tapi, untuk meredam tangisku, agar tak terdengar olehnya. Juga untuk mengatur deru nafasku.
“Na Young-a.. Ini aku. Lelakimu.” Ucapnya. Aku hanya terdiam. Tak berniat menanggapi ucapannya. Masih dengan bulir air mataku di kedua belah pipiku.
“Bukankah sudah ku katakan kepadamu, L­-sshi, berikan sambungan telefon ini padanya. Kau semakin membuatku sakit.” Ucapku, yang mungkin terdengar kasar untuknya. Bukan. Bukan maksudku mengucapkan kata kasar itu. Hanya saja ku rasa dia lebih baik mendengar kata kasarku, daripada mendengar isakan, juga deru nafasku.
Mianhae, Na Young-a. Sungguh aku minta maaf. Aku tak bermaksud mengacaukan kejutan kecilmu. Hanya saja, saat itu seperti L sedang menguasaiku.” Ujar Myung Soo, akhirnya. Lagi, bulir air mataku mengalir di kedua belah pipiku. Namun, deru nafasku seolah telah berhenti. Menjadi, sedikit lebih tenang.
“Aku menunggumu. Di depan apartemenmu.” Ucapannya membuat bulir-bulir air mataku terhenti. Lalu, ku hapus jejak-jejaknya, agar tak terlihat oleh Myung Soo. Sedetik kemudian, ku langkahkan kakiku menuju pintu apartemenku.
Dia di sana. Selangkah sebelum apitan pintu apartemenku. Dengan kemeja hitamnya, juga sebuket bunga di tangan kanannya. Sedang tangan yang lainnya ku lihat menurunkan ponselnya, dari telingannya, ketika ia mendapatiku di hadapannya.
Mata elangnya menatapku. Mengunci mata hazelku, di sana. Bahkan ia tak mengucapkan sepatah kata pun. Langkah kakinya semakin mendekatiku. Hingga ku dapati ia hanya berjarak selangkah dari tempatku berdiri.
“Untuk gadisku, selamat hari jadi kita, di tahun pertama.” Ujarnya dengan senyum manisnya di kedua ujung bibirnya. Tangan kanannya terulur. Menyerahkan sebuket bunga tadi, untukku. Sedang tangan kiri kekarnya merengkuh tubuhku. Membawaku dalam dada bidangnya. Bulir air mataku kembali menelusuri kedua belah pipiku, di sana.
“Maaf membuatmu sakit, atas perlakuan L kepadamu. Ia hanya tak tahu bagaimana mengontrol emosinya.”
-o0o-
Dan sebuah kataBahagiaadalah kata untuk menyempurnakan hari ini. Di saat lelah menjalari seluruh tubuhku. Disaat peluh tak hentinya menetes dari pelipisku. Di saat mood-ku mulai menurun. Di saat itu pula suara Myung Soo mengubah segalanya. Mengubah mood-ku menjadi lebih baik. Menguapkan semuruh rasa lelahku, menjadi suntikan semangatku. Juga membuatku mengumbar senyum manis di kedua sudut bibirku.
Yoeboseo, Na Young-a.” Oh, betapa suara berat Myung Soo itu sangat menanangkan. Merefleksikan kekesalanku, pada pekerjaan.
Yoebosoe, Myung Soo-a. Ada apa?”
“Kau ada di mana?” terdengar suaranya di seberang sana yang mengajukan pertanyaan tentang keberadaanku.
“Aku baru saja keluar dari kantor. Ada apa?” Lagi, ku ajukan pertanyaan yang sama dengan pertanyaan beberapa detik lalu. Menanyakan maksud ia menelfonku.
“Jika kau tak keberatan ku tunggu kau di choffeshop tempat kita pertama kali bertemu dulu. Aku menunggumu. Sampai jumpa.” Sedetik kemudian, setelah ia menyelesaikan frasanya, ia menutup sambungan telefonnya. Aku hanya menghela nafas panjang. Biarlah seluruh tubuhku yang penat ini ku paksakan menemuinya. Alih-alih senyumnya mampu menguapkan kepenatanku.
Ku langkahkan kakiku menyusuri jalan menuju halte bus. Berharap masih ada bus yang akan menungguku.
Senja baru akan dimulai. Nampak matahari mulai merangkak ke arah Barat, dari jendela kaca bus ini. Namun, belum sepenuhnya tenggelam, masih sedikit menampakkan dirinya. Dan kini, semburat jingga kemerahan itu, mulai menutupi biru langit. Bahkan kini klakson-klakson mobil itu, mulai bersahutan. Seolah menginginkan jalan tercepat menuju rumah mereka.
Kini bus yang ku tumangi berhenti di pemberhentian pertama. Halte yang berjarak beberapa meter dari tempat yang dijanjikan Myung Soo. Segera ku langkahkan kakiku menuruni bus ini.
Dan aku masih di sini. Di tempat pemberhentian ini. Sedikit enggan beranjak, mengingat klakson-klakson itu masih saja bersahutan. Tak menginginkan siapa yang akan mengalah. Ku hembuskan nafas kasar. Mood-ku sedikit memburuk, lagi. Andai saja Myung Soo menungguku di sini. Sehingga aku tak perlu menyeberang ke choffeshop di seberang sana. Aku seperti kembali pada 5 tahun lalu. Di mana aku sangat payah dalam menyeberang.
Lagi, ku hembuskan nafas kasarku. Sebelum akhirnya ku langkahkan kakiku menyeberangi jalan Seoul yang nampak ramai ini. Beberapa langkah dari tempat perberhentian itu, aku seperti merasa seperti merasa sebuah cahaya terang menyorotku. Ketika kepalaku tolehkan, cahaya itu semakin mendekat, juga klakson yang semakin nyaring. Mendekat. Dan membuat tubuhku seolah terpental. Aku seolah tak merasakan apapun. Bahkan Myung Soo yang sering memenuhi pikiranku, ia kini tak lagi di sana.
.
.
Mungkinkah ini adalah akhir dari semuanya
Munginkah ini adalah akhir dari takdirku?
Myung, maafkan aku
Sungguh maafkan aku
Maafkan aku yang tak bisa menjadi gadis terakhirmu dalam takdirmu
Maafkan aku yang mungkin memberimu harapan palsu.
Sekali lagi maaf
Maaf..
-THE END-

            A/N :
Well, aku tak tahu harus berkata apa lagi. Ff ini ada yg terinspirasa dari ff lain, tapi ada juga yg terinspirasi dari drama juga.Yg jelas, ff ini masih banyak kekurangan, dan aku sadar itu. Untuk itu, komentar kalian sangat dibutuhkan. Oh iya, setelah ini masih ada epilog, yang mungkin akan nyambung dgn cover-nya. Hehe.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar ^^