Love
Is Sick
A fanfiction by Zi_You
Title :
Love Is Sick | Main Cast : Kim Myung Soo, Song Na Young(OC) | Genre : Romance, (A little bit) Fluff, Hurt | Duration : One shoot |
Summary :
Takdir
terkadang menyakitkan
Mengubah
apa yang kau rencanakan
****
“Do you know, the
meaning fate is?”
Akan ku
ceritakan kepadamu.
Secuil kisah
antara aku, dia, dan takdir kita.
****
Sebuah
kisah tentang kehidupanku, takdirku, dan cintaku, dengannya. Kau akan tahu arti
kehidupanmu, air matamu, dan takdirmu, setelahnya. Takdir tidak akan memandang
cinta pertamamu sebagai takdirmu. Tapi takdir, akan menuntunmu pada sebuah
kisah yang abadi, walau harus dengan air mata.
Sebuah
kisah, yang berawal dari pertemuanku kembali dengan seorang teman lelaki
lamaku, setelah 5 tahun kita tenggelam dalam setumpuk lembar putih yang
melelahkan mata. Pertemuan yang sangat ku harapkan pada 5 tahun terakhir ini.
Di coffeshop distrik Seoul inilah, aku kembali bertemu bukan hanya dia, tapi
juga teman lamaku. Teman lelaki lamaku itu masih sama. Masih dengan mata
elangnya yang ku rindukan. Perasaanku padanya pun masih sama, seperti 5 tahun
lalu. Selalu membuncah bahagia, saat paras tampannya berada di jarak terdekat
dengan indera penglihatanku.
Lelaki
itu nampak berbicang dengan lelaki lain, namun sesaat terhenti, ketika ia
menyadari kedatanganku.
Mata elangnya mengunci mata hazelku. Seolah hanya pesonanya yang nampak pada
mata hazelku, tiada pesona lain dari teman lelaki lamaku. Dan disana, di meja
nomor 24, untuk pertama kalinya mata elangnya menatapku.Tatapan elangnya yang
ku harapkan menatap mata hazelku, 5 tahun lalu.
Tak seperti teman lamaku lainnya, yang datang
bersama kekasihnya, ataupun tunangannya, dia sendiri. Lelaki bermata elang itu
sendiri, tanpa seorang gadisnya.
“Na Young-a!”
pekikan dari teman perempuanku itu, seolah tak menginginkan mata elang teman
lelakiku mengunci mata hazelku terlalu lama. Ia melangkah mendekatiku, dengan
kaki jenjangnya yang anggun. Balutan gaun hitam selutut, dengan rambut
gelombangnya yang tergerai, membuatnya
lebih cantik, dari 5 tahun yang lalu. Ia Jung SooJung. 5 tahun lalu, kita
seolah tak menunjukkan seorang teman akrab. Aku yang mulai menjauh, ketika ku
dapati dia juga menyukai teman lelakiku itu.
“Oh, SooJung-a.”
Ku umbar pula senyum simpul manisku, untuk memulai perbincangan akrab ini.
“Hey, bagaimana kabarmu? Dan, kau... sendiri?” Nada
bicaranya kentara sekali ragu, ketika menyelesaikan frasanya. Ku dapati
sepasang iris coklat kehitamannya melihat penampilanku. Bahkan iris coklat
kehitamannya mulai menyisir penampilanku, mulai dari ujung kaki, hingga ujung
kepala. Pun, ia tak mendapatiku menyisipkan jemariku pada tautan tangan dengan
lelaki lain.
“Tak ada yang berubah dariku, SooJung-a. Pun dengan perasaan ku yang masih sama dengan 5 tahun lalu,
hanya untuk teman lelaki lamaku. Bagaimana denganmu?” ucapku seraya mengumbar
senyum manisku, di akhir frasaku. Iris coklat kehitamannya kini tak lagi
menyisir penampilanku. Bahkan ku dapati binar dalam matanya.
“Aku berbeda denganmu. Aku menyerah pada perasaanku.
Ternyata bukan dia lelaki dalam hatiku. Ada seorang lain yang mengisi hatiku.
Dulu, sekarang, bahkan jika takdir mengizinkan, dia akan menjadi satu-satunya
lelaki dalam hatiku.” Ku ikuti arah iris coklat kehitamannya berlabuh. Di sana,
kudapati seorang lelaki yang membuat binar dalam mata SooJung terlihat. Lelaki
berperawakan cukup jangkung, juga tubuhnya yang kurus. Rambut coklatnya tertata
rapi, pun poni yang menutupi jidatnya. Membuatnya terlihat tidak hanya tampan,
tetapi juga memperlihatkankan sisi menggemaskan.
“Bukankah itu Min Hyuk sunbae? Kau—” Lelaki itu bukan
lagi orang asing di kedua iris mataku. Lelaki yang ku kenal 5 tahun lalu
sebagai pemimpin OSIS. Tak heran jika SooJung pun menjadikannya sebagai lelaki
yang akan terukir dalam hatinya, selain teman lelaki lamaku itu, juga teman
perempuanku yang lain.
“—apakah dia lelaki yang berhasil membuatmu melupakan teman
lelaki lamaku? Dan menjadi lelakimu?” Terlihat jelas dalam iris mataku,
anggukan kecilnya, juga semburat merah pada kedua belah pipinya.
“Kau juga harus
mendapatkannya, Na Young-a.” Sikunya
menyentuh pelan lengan kananku. Pun iris coklat kehitamannya yang arah
pandangnya kini tertuju pada teman lelaki lamaku.
“Aku akan
meminta pada takdirku, agar dia menjadi lelaki pelengkap hidupku.” Sebuah
senyum manis ku sunggingkan kepadanya, sesaat sebelum frasaku terucap.
Ini seperti dalam permintaanku saat aku bertambah usia,
nantinya.
Bernostalgia dengan memori lama, juga melepas rindu pada
teman lelaki lamaku.
Seperti
dewi fortuna yang mendengar rencanaku. Dan mengabulkannya lebih cepat dari yang
ku kira. Oh, betapa takdir kini berpihak padaku.
“Oh, mari bergabung dengan yang lain.” Ucap Soojung,
lantas menarik pergelangan tanganku.
Iris mataku menyisir ruangan yang beberapa jam lalu tak lagi
terlihat lengang. Deguban musik kini
menggema ke seluruh ruangan ini. Kini, terlihat Park Hyung Shik tengah
mengumbar senyum manis seraya melambaikan tangan kanannya pada ku, juga SooJung
di balik pemutar musik itu. Teman-teman lamaku kini tak ayal layaknya
segerombol lebah yang terdengar menyamakan deguban musik. Gelak tawa, juga
geduban musik itu, kini seolah tak mengijinkan ku berucap sepatah kata pun.
“Jung SooJung! Song Na Young!” pekikan itu terdengar
melengking, diantara deguban musik, juga gelak tawa yang menggema. Di sana, terlihat
Choi Jinri—teman perempuan
lamaku yang kini tengah melambaikan tangan kanannya padaku,
juga Jung SooJung. Teman perempuanku itu, tak kalah cantik dari Jung SooJung.
Dengan balutan gaun putih selututnya juga
rambut coklat panjangnya yang ia ikat sebagian, membuatnya terlihat
manis. Ia terlihat tak sendiri. Tangan kirinya bergelayut manja pada lengan
kanan Choi Minho—teman lelaki
lamaku, juga. Senyum manisnya nampak ia
umbar, untuk sepersekian menit.
Kini, bukan hanya saja Choi Jinri, juga Choi Minho yang
menyambut kedatanganku dengan senyum manisnya, tapi juga Kang Min Hyuk sunbae, Byun Baekhyun, dan Park Chorong. Oh,
kecuali—dia, yang ku
rasa tak menyumbar senyum manisnya. Ya, lelaki bermata elang itu, pun berada di
meja yang sama dengan Jinri, Minho, Min Hyuk sunbae, Byun Baekhyun, Park Chorong. Di meja persegi panjang hitam
itu. Ia masih saja dengan raut wajah dinginnya, juga mata elangnya, yang masih
saja menyisir penampilanku. SooJung yang genggaman tangannya berada di
pergelangan tanganku, masih saja menarikku. Rupanya ia tak memperhatikanku yang
sedari tadi menghembuskan napas, dalam satu tarikan napas—terlihat menghilangkan gugup dari
kontak mata teman lelaki lamaku.
Untuk
sepersekian detik, dalam meja hitam ini, tak seorang pun mengeluarkan sepatah
kata. Hening. Bahkan ini tak kalah bedanya, saat tak seorang pun yang
mengajakku berbicara, saat aku datang ke kafe ini.
Sampai akhirnya
SooJung yang—mungkin tak
tahan dengan keadaan ini, pun meemecahkan keheningan ini. Pun dengan usulannya
yang sepertinya ia ingin kembali ke masa 5 tahun lalu. Permainan truth or dare. Permainan beberapa menit
itu, kini mengundang gelak tawa, kala mereka yang berada di hadapanku
mengungkit privasi mereka, bahkan tak membuat teman lelaki lamaku itu, tak
menunjukkan senyum manisnya.
Hingga sebuah
pertanyaan dari SooJung, untuk kedua kalinya menghentikan tatapanku untuk teman
lelaki lamaku itu, juga mengalihkan pandangan teman lelaki lamaku itu—ia menatapku sekarang.
“Na Young-a, siapa yang menurutmu tampan dari
sekian lelaki di hadapanmu?” ujarnya. Ku telisik paras 4 lelaki di hadapanku
ini. Kang Min Hyuk sunbae, Choi
Minho, Byun Baekhyun, juga Kim Myung Soo—teman lelaki lamaku, pun lelaki
idamanku. Bukankah ini pertanyaan yang sangat simple, bahkan di sana ada seorang Kim Myung Soo? Tapi, lain halnya
jika aku tak mampu mengontrol semburat merahku, jika ku sebut namanya.
“Kang Min Hyuk sunbae.” Ucapku.
“Ya! Na Young-a! Kau mau cari mati, hah?” SooJung
seolah menginginkan untuk ‘mengakhiri’ berbicaraan akrab, sebagai teman dekat.
Aku hanya tersenyum simpul, menanggapi pernyataannya. Pun, dengan temanku dalam
satu meja hitam itu—tentu tidak
dengan Kim Myung Soo— yang masih
dengan raut dinginnya. Bukan. Bukan maksudku membuat SooJung bertindak ‘seolah’
mengakhiri pembicaraan akrab, sebagai teman dekat ini. Hanya saja deguban
jantungku yang seolah memuncah, dengan jarakku dengan Kim Myung Soo.
Ku lihat arloji
putihku, sekilas. Sekedar menghilangkan kegugupanku. Pukul 22.45 untuk waktu
Korea.
“Oh. Sepertinya
ini sudah terlalu larut. Boleh aku pulang lebih awal dari kalian?” ucapku. Ku
telisik raut wajah mereka yang duduk di hadapanku. Seperti tak ada protes,
kecuali..
“Kau tidak
bermaksud ‘kabur’ atas ucapanmu, bukan?”ucap SooJung, seolah menatap dalam iris
mataku. Ia seolah menginginkanku ‘mempertanggung jawabkan’ ucapanku beberapa
detik lalu.
“Tidak,
SooJung. Ini jam malam baruku. Lagipula, jika kau memiliki Kang Min Hyuk sunbae, yang akan menghantarkanmu
pulang, tidak denganku. Tidak seorangpun di ruangan ini yang akan
menghantarkanku pulang.”
“Aku bahkan tak
mempercayai ibumu membuat jam malam baru untuk seorang gadis yang telah 5 tahun
lulus dari SMA. Bahkan kini telah tinggal di apartemen seorang diri.” Ucapnya
dengan nada yang seolah mengejekku. Oh, apakah ia kembali menjadi SooJung
dengan kata pedasnya? Tidakkah kau tahu SooJung, aku bahkan tak mampu untuk
mengontrol deguban jantungku yang berada di jarak terdekat dengan Kim Myung
Soo?
“Hanya seorang
pecundang yang tak mengakui perasaannya.” Ucapnya lagi, yang tertangkap dari
indra pendengaranku, saat aku bangkit dari kursiku.
Ternyata gulita
malam semakin terlihat, kala kaki jenjangku keluar dari pintu coffeshop itu. Bahkan
suara deguban musik dari Park Hyung Shik, kini berubah menjadi suara yang
mencekik. Hening. Hanya beberapa klakson mobil yang terdengar. Bahkan lampu
coffeshop tadi, yang terlihat terang, kini setelah kaki jenjangku tak berada di
sana, terlihat sangat gelap—untuk gadis seukuranku. Bahkan aku tak yakin, masih ada
bus yang menungguku. Haruskah aku menelfon kakak laki-lakiku atau ayahku, yang
ku rasa kini mereka di meja lemburnya? Atau...
“Tidakkah ini
terlalu malam, untuk gadis seusiamu?” suara itu nampak begitu asing, bagiku.
Namun, tak asing untuk wajah yang ku dapati tengah menatap lurus. Walau hanya
ku lihat dari sisi kirinya, sudah ku pastikan ia Kim Myung Soo. Dan benar saja.
Ia teman lelaki lamaku, yang kini juga mentapaku.
“Bahkan bisa
saja lelaki nakal di sekitar sini, mengancam nyawamu.” Aku hanya menanggapinya
dengan senyum simpulku, sebelum akhirnya ku langkahkan kembali kaki jenjangku,
yang beberapa detik lalu terhenti. Ia pun sama denganku. Kembali melajukan
mobilnya. Oh, mungkinkah ia hanya menghentikan mobilnya sejenak, untuk sekedar
mengucapkan frasa yang belum sempat ia ucapkan? Tidakkah ia sudi memberikan
tumpangannya untukku?
Namun, aku
salah dengan pernyataanku dengannya beberapa detik lalu. Rupanya, ia kembali.
Masih dengan mobil, juga penampilan yang sama.
“Aku tidak akan
membiarkan seorang gadis disentuh oleh lelaki nakal, itu.” Ujarnya, lantas ia
menarik pergelangan tanganku. Tak hanya itu, ia pun membukakan pintu mobilnya
untukku. Oh, apakah semua teman lamaku mengenalinya sebagai Kim Myung Soo yang
berbaik hati? Ini seperti mimpi.
Hening. Bahkan
ku rasa frasa terakhirnya terucap saat ia menarik pergelangan tanganku. Ia
memfokuskan penglihaannya hanya pada jalanan Seoul yang terlihat lengang. Tak
sedikit pun, ia alih kan perhatiannya, padaku.
Hingga ku rasa
ia menghentikan mobilnya pada bangunan yang sangat ku kenal. Bukankah ini
apartemenku? Bagaimana bisa ia mengetahuinya? Ku telisik matanya, mencoba
mencari jawaban. Namun, ia tak di sana. Ku dapati suaranya yang seperti berada
di jarak terdekat dengan indra pendengaranku.
“Mau sampai
kapan kau disitu?” ucapnya. Ku putar kepalaku, menghadapnya. Ia di sana. Dengan
tatapan mata elangnya yang terkesan dingin. Terlihat kini ia membukakan pintu
mobilnya untukku.
“Oh. Terima
kasih atas tumpangannya —”
“Jangan fikir,
ini adalah tindakanku sebagai seorang lelaki. Ini hanya rasa kasihanku,
terhadap seorang teman.” Ujarnya yang seolah membaca fikiranku. Bahkan saat ia
memotong pembicaraanku, mata elangnya pun tak menatapku. Seolah aku adalah
imajinasinya yang tak terlihat.
Aku pun, hanya
membukukkan badanku—sebagai
penghormatan perpisahanku, dengannya. Dan sedetik kemudian berlalu pergi.
Meninggalkan ia seorang diri yang masih saja berdiri pada pintu yang ia
bukakakn untukku.
-o0o-
Titik-titik air itu dengan
ringannya turun dari gumpalan awan
putih, membuat basah tanah Seoul, yang beberapa detik lalu masih telah mengering—walau sebagian masih basah. Iris mataku
masih saja menyisir titik-titik air itu. Lalu, sedetik kemudian kelopak mataku
tertutup. Menghirup dalam aroma tanah basah, juga aroma latte yang berbaur menjadi satu. Helaan nafas dalam satu tarikan
nafas, membuat kelopak mataku terbuka. Pun, menimbulkan kaca bening di depanku
ternodai dengan helaan uadaraku, yang berubah menjadi titik-titik air. Lalu,
jemariku pun mengalun pelan pada kaca bening itu. Sedetik kemudian, kaca
beninng itu ternodai dengan Hangeul yang ku tuliskan. Walau, mungkin terlihat
samar, namun aku—mungkin juga
seorang lain yang menempati meja ini— masih dapat membacanya.
‘Saranghaeyo’
Hanya senyum
simpul yang ku umbar, ketika tulisan yang menodai kaca bening itu terucap
kembali dalam benakku.
‘Ku harap kau takdirku, dan menjadi lelaki terakhirku.’
Ku alihkan pandanganku pada latte yang beberapa detik lalu ku biarkan asapnya mengepul, tanpa
ku tiup pelan. Lalu, ku sesap pelan latte
ini, sesekali menghirup aromanya. Akan lebih baik jika seseorang mengajakku
berbicara, agar keheningan tak mencekikku, Kim Myung Soo, mungkin.
Ku lihat sekilas arloji putihku. Alih-alih menghilangkan
fikiranku dari Kim Myung Soo. Pukul 05.00 sore untuk waktu bagian Korea. Oh,
mungkin sebaiknya aku bergegas pulang, sebelum titik-titik air itu bertambah
deras.
Ternyata penglihatan dan pernyataanku salah. Titik-titik
air yang ku lihat dari balik kaca bening itu, kini tak seperti yang ku
fikirkan. Semakin deras, kala kaki jenjangku telah berada di luar kafe. Udara
dingin pun, kini menusuk kulitku. Ku rekatkan kedua lenganku, juga ku usap
pelan lenganku, berharap udara dingin tak lagi menusuk kulit. Sebuah kesalahan
yang terlalu bodoh, meninggalkan payungku di apartemen. Aku hanya mendengkus
pelan. Lalu, sedetik kemudian kaki jenjangku melangkah, menjauhi kafe tersebut.
Menerjang titik-titik air yang semakin deras. Langkahku terhenti ketika
titik-titik air itu tak lagi membasahiku. Ku dongkakkan kepalaku. Ku dapati dia
di sana, dengan jaket kulit hitamnya yang menghalau titik-titik air. Dia, teman
lelaki lamaku. Dari balik kacamata hitam, juga topi hitamnya, aku masih
mengenalinya.
“Myung..” ucap ku lirih, yang ku rasa ia indra
pendengarannya masih mampu menangkap suaraku. Ia menoleh sekilas padaku. Lalu
pandangannya kini tertuju lurus pada titik-titik air itu.
“Jangan sebut namaku, jika kau tak ingin mereka
mengetahuiku, bersamamu, juga sebelum titik-titik air kembali
menerjangmu.”ucapnya yang masih terdengar jelas, di telingaku, walau
titik-titik air itu menyamarkan suaranya.
Terkadang aku heran dengan penglihatan juga
pendengaranku. 5 tahun lalu. Kim Myung Soo yang ku kenal, adalah lelaki beraut
wajah dingin, juga tatapan mata elangnya yang jarang, bahkan tak pernah menatapku.
Dan mungkin, untuk mengingat namaku saja, ia kesulitan. Namun, pendengaranku
berkata lain. Setelah 5 tahun itu, setelah pertemuan ku kembali dengannya,
pendengaranku menangakap sisi lain dari seorang Kim Myung Soo. Ia kini terkesan
sebagai lelaki yang memperhatikan seorang yang mungkin baginya mengingat nama
saja kesulitan.
“Mereka? Mereka maksudmu netizen?” Aku mulai paham dengan
arah pembicaraannya, yang beberapa detik lalu membuatku bingung. Bagaimana
tidak, seorang hallayu star seperti
dia, tak mungkin selamanya akan terbebas dari netizen yang selalu mengejarnya.
Ku ikuti langkah kakinya. Walau terkadang titik-titik air
yang jatuh tepat di atas tanah itu, sesekali menodai kaki jenjangku. Namun, aku
tak sekalipun menggerutu kesal, alih-alih ini adalah waktu kedua kali yang tak
akan ku lewatkan. Berdiri di samping Myung Soo, di jarak yang terdekat
dengannya.
Langkah kakinya terhenti, tepat pada halte bus. Ia
menurunkan jaket kulitnya. Lalu mengenakannya tepat pada kedua bahuku.
“Ini untuk menghindarimu, dari udara dingin yang mungkin
akan menusuk kulitmu. Sampai jumpa.” Ucapnya. Ia sedikit membenahi letak
jaketnya pada bahuku, sebelum akhirnya ia melangkah menjauhiku.
“Myung..” ucapanku terputus, ketika mengingat ucapannya
beberapa menit lalu. Ia pun memutar tubuhnya, menghadapku. Tak ada tatapan
sendu darinya. Bahkan kini mata elang itu, menatapku tajam.
“Oh, maaf. Bagaimana denganmu, jika jaketmu untukku?”
Raut wajah dinginnya, kini berubah dengan senyum manisnya. Oh, senyum manis
yang jarang ia perlihatkan untukku. Ia tak menanggapi ucapanku, hanya jemari
telunjuk, manis, dan kelingking yang ia satukan untuk menjawab pertanyaanku,
yang seolah berucap‘Aku tak apa.’
Sedetik kemudian ia melangkahkan kakinya. Menerjang hujan
yang mungkin akan membasahinya, lebih cepat dariku.
-o0o-
“Yeoboseo, Na
Young-a” Terdengar nada sambung dari
nomer ponsel yang ku panggil. Lalu sedetik kemudian suara yang sangat ku kenal
menjawab panggilanku dengan nada seraknya. Sudah ku pastikan ia masih terlilit
dengan selimut tebalnya. Bahkan aku yakin, kelopak matanya belum terbuka
sepenuhnya.
“Oh, maaf mengganggumu, SooJung-a. Aku hanya ingin menanyakan alamat yang kau berikan kepadaku.
Apakah kau yakin alamat itu, akan tertuju pada apartemen pribadi Myung Soo?”
ucapku, seraya memperhatikan sederet Hangeul yang tertulis pada secarik kertas
putih. Menunjukkan alamat apartemen pribadi Myung Soo, serta nomer ponselnya
“Hah! Kau meragukan alamat itu? Kau tahu, bahkan aku
bersama Min Hyuk sering ke apartemennya.” Ucapnya yang di akhiri dengan
dengkusan kesalnya.
“Oh, Oke. Aku bukannya tak mempercayaimu, hanya untuk
memastikan. Lalu aku harus bagaimana sekarang? Aku bahkan telah berada di depan
pintu apartemen Myung Soo.” Ucapku yang kini tengah dijalari dengan rasa
gugupku.
“Kau hanya perlu mengetuk pintunya. Atau jika kau ragu
mengetuk pintunya, kau hanya perlu menelfon nomer ponselnya yang telah ku
berikan. Apa susahnya?” ucapnya, dengan emosi yang ku kira tak dapat ia
kontrol. Salahku memang. Mengganggu tidurnya, dengan menelfonnya.
“Oh, terima kasih, SooJung. Dan—”
ucapanku terhenti, kala sambungan telfon dariku, ia putus sepihak. Aku hanya
mampu menghela nafas, menghilangkan rasa bersalahku, juga kegugupanku.
Ku hembuskan nafasku sedikit kasar, berusaha
menghilangkan kegugupanku. Tangan kananku mulai terayun, beberapa senti dari
pintu coklat itu. Sedangkan tangan yang lain ku gunakan meremas ujung jaket
kulit hitam itu. Kelopak mata ku terpejam sesaat. Merasakan kegugupan yang
mencekik ini.
Namun, sedetik kemudian kelopak mataku terbuka, ketika ku
dapati pintu coklat itu terbuka. Menampakkan seorang lelaki, yang ku pastikan
ia berumur lebih tua dari Myung Soo. Oh, tidak! Apakah aku berada dalam
apartemen yang salah?
“Nuguseyo?”
ujar lelaki yang berada di hadapanku ini, dengan suara beratnya yang khas
dimiliki seorang lelaki.
“Oh.. Aku.. teman Kim Myung Soo. Benarkah ini alamat
apartemen Kim Myung Soo?” ucapku. Lelaki itu, nampak menyisir penampilanku dari
ujung kepala, hingga ujung kakiku. Nampak persis dengan Myung Soo, ketika aku berada
dalam apitan pintu coffeshop, beberapa hari lalu. Namun, raut wajahnya tak
seperti Myung Soo, yang nampak dingin. Ia terkesan lebih ramah dari Myung Soo.
“Aku teman satu angkatannya. Tentu bukan saseang fans-nya. Percayalah.” Ucapku,
berusaha meyakinkannya. Siapapun dia, mungkin tidak akan percaya 100% dengan
ucapanku tadi. Mungkin saja ia mengira aku adalah fans fanatik Myung Soo.
“Kau mencari Myung Soo? Ia ada di dalam. Di dalam
kamarnya.” Ujarnya yang sedikit membuatku lega, dengan kepercayaannya. Juga
dengan tatapannya yang tak lagi menyisir penampilanku. Namun, kata terakhirnya
sedikit membuatku tercekat. Tidakkah aku akan menjadi tamu yang tak sopan, jika
hanya ingin mengembalikan jaket kulitnya saja, aku harus masuk ke dalam
kamarnya? Oh, Tuhan. Harus bagaimanakah aku sekarang?
“L, kau aku tinggal sendiri, tak masalah bukan? Aku akan
mengatur jadwalmu. Oh, ada teman perempuanmu di sini. Ia akan menemanimu.”
Ujarnya yang ku rasa terdengar hingga kamar Myung Soo. Lelaki itu, kembali
menatapku.
“Aku manager L, oh maksudku Myung Soo. Senang bertemu
denganmu. Maaf atas tindakanku tadi. Myung Soo ada di kamarnya. Aku percaya
kau.” Ujarnya, yang diakhiri bungkukkan badannya. Ia menepuk bahuku pelan, lalu
beranjak pergi meninggalkanku.
Ku buka perlahan pintu coklat itu. Ruangan ini tampak lengang.
Bahkan desiran angin musim dingin, terdengar menyeruak dalam ruangan ini. Iris
mataku menyisir ruangan lenggang ini. Mencoba menebak kamar Myung Soo.
Pandangan mataku, kini berlabuh pada sebuah ruangan dengan pintu coklat yang
sedikit terbuka. Ku langkahkan kakiku menuju ruangan tersebut.
“Myung..” ujarku, dengan alis mataku yang sedikit
terangkat. Ya, ragu akan keputusanku untuk memanggil namanya, juga melangkah
lebih jauh, memasuki ruangan ini.
“Masuklah.” Ujar suara lemah itu. Ku pastikan itu suara
Myung Soo.
‘Bodoh! Siapa
lagi orang lain dalam ruangan ini selain kau dan Myung Soo, Na Young?’ runtukku dalam hati.
Ku langkahkan perlahan kaki jenjangku memasuki ruangan
ini. Di sini. Diantara apitan pintu coklat itu, aku dapat melihatnya yang masih
tertutup dengan selimut tebalnya, hingga menutupi hampir seluruh badannya.
Mungkin itu karena ia bukan malas beranjak dari tempat tidurnya, tapi sesuatu
yang lain.
Semakin ku dekati dia, semakin terlihat wajah pucatnya,
juga sebuah kain di atas jidatnya. Ku langkahkan kakiku mendekatinya. Ia di
sana. Dengan mata yang masih terpejam. Namun, ku yakin ia mampu mendengar
langkahku. Lalu tangan kiriku yang sedari tadi disandari oleh jaket kulitnya,
kini terulur. Meletakkan jaket kulit tersebut pada meja di dekatnya.
“Myung, sebenarnya aku ke sini, hanya untuk mengembalikan
jaket kulitmu. Aku—”
“Jangan tinggalkan aku. Tetaplah di sini.” Ujarnya dengan
nada lemah. Tangan kanannya kini terulur menggapai pergelangan tangan kiriku.
Lalu menahannya di sana.
“Tapi, aku—”
“Tetaplah di sini.” Lagi, ia mengucapkan frasa yang sama
dengan frasanya beberapa detik lalu. Bahkan kini ia mencengkram pergelangan
tanganku dengan kuat. Seolah ia menginginkanku tetap di sini. Duduk di
sampingnya.
Kini, setelah frasa terakhirnya, seolah kami diselimuti
keheningan. Bahkan angin musim dingin yang menerbangkan tirai putih miliknya,
pun menerbangkan anak rambutku. Dapat ku lihat jelas wajah damainya, dengan
kelopak mata yang masih tertutup. Melihatnya di jarak terdekat ini, seperti
keinginnanku 5 tahun lalu. Hanya sunggingan senyum di kedua ujung bibirku, jika
mengingatnya.
Iris mataku mulai menyisir ruangan Myung Soo ini. Nampak
tertata rapi untuk seorang lelaki. Pandangan mataku pun berlabuh pada meja juga
kaca besar di depannya. Ku pertajam penglihatanku. Terdapat sebuah foto di
ujung atas kaca besar tersebut. Seperti aku mengenalnya, walau diambil dari
sisi samping. Gadis dengan gaun soft pink-nya,
juga rambut coklat gelombangnya yang tergerai.
“Jangan melihat foto gadis yang ku sukai. Belum saatnya
aku memberitahu publik tentang dia.”
-o0o-
Merasakan satu kata—Bahagia—itu mudah. Ketika jarak pandang indra
penglihatanku berada di jarak terdekat dengan Kim Myung Soo. Ketika senyum
manis itu mengembang di kedua sudut bibirnya. Ketika deguban jantungku tak
terkontrol, melihatnya. Itulah saat aku merasakan satu kata. Bahagia.
Dan aku
merasakan buncahan bahagia itu, sekarang. Di sini. Di tempat ku berdiri, ia pun
juga berdiri disampingku. Dengan balutan kemeja hitam, celana jens hitam,
kacamata, juga topi yang berwarna sama. Ia terlihat seperti L. Bukan Kim Myung
Soo.
Beberapa detik
lalu, ia mengayunkan telunjuknya. Lalu mencolekkan ice cream yang ia dapat dari genggamanku, pada hidungku. Membuatku
mengalihkan perhatianku padanya, yang aku pun tak tahu dari mana ia mengetahui
keberadaanku.
“Myung..”
ucapku, lantas memincingkan mataku. Mempertajam penglihatanku. Ia hanya
menolehkan kepalanya, menatapku dari balik kacamata hitamnya. Lantas
mendaratkan telunjuknya pada bibirku.
“Oh, maaf.”
Ucapku, yang seolah teringat ucapannya beberapa hari lalu. ‘Jangan sebut namaku, jika kau tak ingin mereka
mengetahuiku, bersamamu.’
Ia tersenyum,
lagi. Menanggapi ucapanku. Senyum yang selalu terlihat manis.
“Tak masalah.” Ucap nya, seraya meletakkan lengannnya
pada bahuku. Membuatku sontak terkejut atas perlakuannya. Untuk pertama
kalinya, ia merangkulku. Bahkan, aku tak pernah membayangkan ini terjadi
padaku.
“Jangan hanya terpesona denganku, hingga kau tak berdekip
sedikitpun. Mari bersenang-senang untuk hari ini.” Ucapannya lantas membuatku
melepaskan kontak mata dengannya. Ini memalukan. Sangat memalukan,saat ia
mengetahui aku tengah menatap wajah tampannya.
Ia lantas menurunkan tangannya dari bahuku. Lalu
jemarinya menyisip melalui sela-sela jemariku. Menahan jemariku, di sana.
“Apa kau tak apa, jika bersamaku? Maksudku—”
“Tak apa asal kau tak menyebut namaku. Mari
bersenang-senang untuk hari ini.” Ucapnya. Lagi, ia mengulang perkataannya
beberapa detik lalu. Ia lantas menarik tanganku, yang berada dalam tautan
jemarinya. Seolah menginginkanku mengikuti langkah kakinya.
-o0o-
Sebuah kata—Bahagia—itu bagiku bukan hanya tujuh huruf, dalam satu kata. Tapi
lebih dari itu. Bahkan untuk setengah hari yang ku habiskan dengan Myung Soo,
entah berapa kali rasa bahagia itu membuncah dalam hatiku.
Terlebih dia
yang kini menggendongku dalam punggungnya. Juga kedua tanganku yang melingkar
pada lehernya. Membuatku aroma feromonnya menusuk hidungku. Juga membuat
kelopak mataku tertutup untuk beberapa detik. Menikmati aroma feromonnya. Juga
dengan kepalaku yang bersandar di sana.
“Apa kau akan
membuat punggungku sakit?” ucapannya seolah membuat kelopak mataku terbuka.
Iris mataku menelisik sekitarku. Oh, seberapa cepat Myung Soo melangkahkan
kakinya? Hingga tanpa ku sadari ia telah membawaku pada tepi pantai, yang
terlihat lengang.
“Na Young-a..” ucapnya, lagi. Seolah ia
menginginkanku untuk segera turun dari gendongannya.
“Oh maaf.”
Dan di sini kita berada. Di bibir pantai dengan deburan
ombak yang masih saja mengalun. Mengisi keheningan diantara aku, juga Myung
Soo. Senja baru saja dimulai. Matahari mulai menenggelamkan dirinya di ufuk
Barat. Sinar bias jingga kemerahannya mulai menyeruak ke seluruh penjuru.
Membuat warna biru laut seolah tertutup dengan bias jingga tersebut.
“Na Young-a,
sadarkah kau? Pertemanan ini, bahkan ku kira melebihi pertemanan seorang lelaki
dengan seorang gadis.” Ucapnya membuka perbincangan akrab ini.
“Lalu, kau akan mengakhiri pertemanan ini?” Ada sedikit nada
kecewa, di setiap kata yang ku ucapkan. Mungkinkah ia tak mengingnkanku untuk
menjadi temannya, lagi?
“Na Young-a..”
“Ya.” Ucapku singkat. Ku tolehkan pandanganku, padanya.
Ku dapati iris matanya menatapku. Seolah menginginkanku untuk tak menatap objek
lain, selain dia seorang.
“Aku ingin berbicara serius. Dengarkan aku..” Kini ia
bukan saja mengunci pandanganku, dari objek lain. Tapi ia juga mengayunkan
kedua tangannya pada kepalaku. Seolah menginginkanku menatap keseriusan dalam
mata elangnya.
“Ya. Aku ingin mengakhiri pertemananku denganmu.”
Perkataannya seolah membuat tenggorokanku tercekat. Mungkinkah selama aku
berada di sampingnya, ia selalu dalam kesulitan?
“Tapi aku menginginkan lebih dari pertemanan antara
seorang lelaki dengan seorang gadis. Karena bagiku, pertemanan antara seorang
lelaki dengan seorang gadis itu tak ada. Oleh karena itu, bolehkah aku menjadi
salah satu alasan kebahagiaanmu? Dan bolehkah aku menjadi lelaki terakhir dalam
takdirmu?” Namun, kalimat terakhirnya semakin membuat tenggorokanku tercekat.
Hingga untuk menarik nafas saja, aku lupa bagaimana caranya. Tanpa ku sadari
bulir air mata itu, kini telah di ujung pelupuk mataku. Hingga ketika kepalaku
menggangguk kecil, bulir air mata itu telah menuruni pipiku.
Tanpa kau memintanya, aku akan menjadikan mu lelaki
terakhir dalam takdirku, Kim Myung Soo.
Hening sejenak. Bahkan setelah pernyataan Myung Soo
beberapa menit lalu, baik aku maupun dia, kini tak saling melontarkan
pernyataan. Hingga akhirnya aku pun memulai membuka pembicaraan.
“Myung, bolehkah aku bertanya sesuatu?”
“Apa?”
“Mengapa saat 5 tahun lalu, hingga pertemuanku denganmu
di choffeshop, kemarin, kau seolah menunjukkan raut wajahmu, yang terkesan
dingin,—
”
“Cuek, hingga
tak menghargai keberadaanmu, begitu?” ucapnya, yang seolah mengetahui arah
pembicaraanku.
“Itu karena aku
berada dalam kendali L, bukan Kim Myung Soo. L tak akan menjadi pribadi yang
baik di depan seorang gadis. Bukankah Kim Myung Soo yang kau kenal sekarang ini
terlihat lebih baik dari L? Peduli dengan gadis yang ia sukai, dan hanya
mengumbar senyum manisnya untuk gadisnya. Karena itu, L dan Kim Myung Soo itu,
dua nama dengan kepribadian yang berbeda.” Ucapnya panjang lebar. Aku pun hanya
mengangguk paham, sebagai merespon ucapannya.
“Lalu, bolehkah
aku mengajukan sebuah pernyataan.” Ucapku, seraya mengayunkan telunjukku di
hadapannya. Dan membuatnya mengernyitkan kedua alisnya.
“Apa?”
“Bisakah jika
kau berada di hadapanku, kau menjadi seorang Kim Myung Soo? Dan menjadi seorang
L, dalam pekerjaanmu?” ucapku. Ia nampak berfikir sejenak. Lantas, sedetik
kemudian, ia menggangukkan kepalanya.
-o0o-
Senja
baru saja tiba, matahari baru saja merangkak ke arah ufuk Barat. Tinggalkan
bias-bias jingga, dan merah tua yang menyeruak ke suluruh penjuru kota. Tapi,
aku masih saja tertahan di sini. Di atap gedung tua. Menyaksikan senja yang
anggun, sendiri. Tanpa Myung Soo. Beberapa kali angin musim gugur menerbangkan
anak rambutku. Juga beberapa kali itu pula, aku menghembuskan nafas berat,
menunggunya. Menunggu Myung Soo yang masih menunjukkan kemampuannya di depan
kamera. Namun, ia berjanji kepadaku akan menemuiku di sini.
“Menunggu
seseorang, Na Young?” ucap sebuah suara, yang ku pastikan suara berat itu milik
seorang lelaki. Ku putar kepalaku menghadapnya. Dan ku hembuskan nafasku
sedikit kasar, mendapati dia yang tak di sana. Melainkan orang lain.
“Ya.
Menunggu lelakiku—Myung
Soo. Apa dia tak apa jika kau berada di sini?” ucapku, dengan seutas senyum di
akhir frasaku. Ia pun sama. Sengumbar senyum di kedua sudut bibirnya. Senyum
yang manis.
“Dia akan lebih mencari lawan
mainnya, dari pada aku. Tak usah khawatir.” Ujarnya. Ia melangkah mendekatiku.
Lantas mendudukkan dirinya pada bangku, di sampigku.
“Apa dia masih memiliki waktu break? Atau berapa lama lagi, dia akan
menyelesaikan adegan terakhirnya untuk hari ini?” ucapku, lagi. Ia tak lantas
menjawab. Namun, memilih menyisir penampilanku dari ujung kepala, hingga ujung
kaki. Pun dengan kue yang sejak tadi di atas pahaku, yang masih tertutup rapat.
“Mungkin tak lama lagi. Bahkan
sebelum cream dalam kuemu meleleh.”
Ujarnya yang lagi-lagi diiringin senyum manisnya.
Sebuah
getaran ponselku, membuatku tak lagi memandang senyum manisnya. Satu panggilan
dari Myung Soo.
“Yeoboseo,
Myung..” ucapku. Namun, ia tak lantas menjawab. Membiarkan sambungan telefonnya
dilanda keheningan. Oh, apakah ia terlalu lelah, untuk menjawab sapaanku?
“Myung, apa kau telah menyelesaikan
adegan terakhirmu untuk hari ini? Aku menunggumu di tempat yang kau janjikan.”
Ucapku, lagi.
“Myung, kau mendengarkanku? Kau
dimana?” lagi, untuk kesekian kalinya ucapanku tak mendapat respon yang baik
darinya. Kini lelaki disampingku ini—manager Myung Soo—pun menoleh ke arah ku,
setelah sekian detik ia hanya mendengarkan ucapanku.
“Aku di sini.” Ucap Myung Soo
akhirnya. Namun, sebuah pertanyaan terlintas dalam benakku. Apa yang membuat
dia menjadi L, dihadapanku? Bukankah ia berjanji akan menjadi Kim Myung Soo?
“I
see you.” Ucapnya, lagi. Sontak frasanya membuat tenggorokanku tercekat.
Mungkinkah ia di sini? Di atap gedung tua ini, juga? Ku balikkan badanku.
Menelisik sekitar gedung ini. Kini pandanganku berlabuh pada seorang lelaki,
dengan ponsel di telinganya. Dan benar. Dia lelakiku. Kim Myung Soo.
“Myung, aku—” ucapanku terputus
seketika ia memutuskan panggilannya tanpa menungguku menyelesaikan frasaku. Ia
pun berlalu pergi. Hanya hembusan nafas berat dari hidungku, yang menghantarkan
kepergiannya.
“Mungkin dia benar. Akhir-akhir ini,
ia berambisi ingin segera menyelesaikan dramanya, hanya untuk mencari waktu
luang untukmu, juga mungkin kejutan kecilmu.” Ucap lelaki itu, yang membuatku
mengalihkan pandanganku dari tubuh Myung Soo yang kini tak terlihat lagi.
“Berikan ini padanya. Katakan ini
dariku, untuk hari jadi ku dengannya.”
-o0o-
Namun, mungkin
ada saatnya ketika Myung Soo tak berada di sampingku, ataupun ia di sampingku,
sebuah kata—Bahagia—itu tak muncul dalam benakku.
Tergantikan dengan sebuah kata—Kecewa—dalam benakku. Juga tergantikan dengan air mata, atas
perlakuannya.
Bahkan getaran yang terdengar
berulang itu tak kuhiraukan. Biarlah dia menghubungiku berkali-kali, itu tak
akan membuat suasana hatiku berubah. Aku hanya melihat sekilas, tanpa berniat
menyentuhnya.
Namun, getaran itu tak kunjung
berhenti. Masih saja berkedip menampilkan nama ‘Kim Myung Soo’. Oh, apakah aku
terlalu berlebihan mendiamkannya?
“Yeoboseyo.”
Panggilan itu, akhirnya meluluhkanku. Bahkan kini tak terhitung lagi berapa
kali hembusan nafasku keluar dari hidungku. Menutupi kekesalanku padanya.
“Na Young-a..”
“Bisakah aku berbicara dengan Myung
Soo, L-sshi?” kini suara beratnya tak
lagi terdengar, semenjak frasa terakhirnya terucap. Hanya keheningan dalam
sambungan telefon itu.
Aku hanya mampu menggigit bibir
bawahku, setelah menyelesaikan frasaku. Mencoba menahan bulir air mataku, yang
ku rasa telah di ujung pelupuk mataku. Namun, semakin lama ku gigit bibir
bawahku, semakin bulir air mata itu tak terkontrol menulusuri ke dua belah
pipiku. Hanya hembusan nafas pelan, yang menutupi deru nafasku.
“Jika Myung Soo berada di dekatmu,
berikan sambungan telepon ini padaya. Juga jika dia bukan seorang
pecundang.” Ucapku. Mungkin baginya akan
terdengar suaraku yang mencoba meredam tangis. Sedetik kemudian, ku jauhkan
ponselku dari telingaku, lalu menutup layar depannya dengan cengkraman
tanganku. Bukan. Bukan menutup sambungan telefonnya. Tapi, untuk meredam
tangisku, agar tak terdengar olehnya. Juga untuk mengatur deru nafasku.
“Na Young-a.. Ini aku. Lelakimu.” Ucapnya. Aku hanya terdiam. Tak berniat
menanggapi ucapannya. Masih dengan bulir air mataku di kedua belah pipiku.
“Bukankah sudah ku katakan kepadamu,
L-sshi, berikan sambungan telefon
ini padanya. Kau semakin membuatku sakit.” Ucapku, yang mungkin terdengar kasar
untuknya. Bukan. Bukan maksudku mengucapkan kata kasar itu. Hanya saja ku rasa
dia lebih baik mendengar kata kasarku, daripada mendengar isakan, juga deru
nafasku.
“Mianhae,
Na Young-a. Sungguh aku minta
maaf. Aku tak bermaksud mengacaukan kejutan kecilmu. Hanya saja, saat itu
seperti L sedang menguasaiku.” Ujar Myung Soo, akhirnya. Lagi, bulir air mataku
mengalir di kedua belah pipiku. Namun, deru nafasku seolah telah berhenti.
Menjadi, sedikit lebih tenang.
“Aku menunggumu. Di depan
apartemenmu.” Ucapannya membuat bulir-bulir air mataku terhenti. Lalu, ku hapus
jejak-jejaknya, agar tak terlihat oleh Myung Soo. Sedetik kemudian, ku
langkahkan kakiku menuju pintu apartemenku.
Dia di sana. Selangkah sebelum
apitan pintu apartemenku. Dengan kemeja hitamnya, juga sebuket bunga di tangan
kanannya. Sedang tangan yang lainnya ku lihat menurunkan ponselnya, dari
telingannya, ketika ia mendapatiku di hadapannya.
Mata elangnya menatapku. Mengunci
mata hazelku, di sana. Bahkan ia tak mengucapkan sepatah kata pun. Langkah
kakinya semakin mendekatiku. Hingga ku dapati ia hanya berjarak selangkah dari
tempatku berdiri.
“Untuk gadisku, selamat hari jadi
kita, di tahun pertama.” Ujarnya dengan senyum manisnya di kedua ujung
bibirnya. Tangan kanannya terulur. Menyerahkan sebuket bunga tadi, untukku.
Sedang tangan kiri kekarnya merengkuh tubuhku. Membawaku dalam dada bidangnya.
Bulir air mataku kembali menelusuri kedua belah pipiku, di sana.
“Maaf membuatmu sakit, atas
perlakuan L kepadamu. Ia hanya tak tahu bagaimana mengontrol emosinya.”
-o0o-
Dan sebuah kata—Bahagia—adalah kata untuk menyempurnakan hari ini. Di saat lelah
menjalari seluruh tubuhku. Disaat peluh tak hentinya menetes dari pelipisku. Di
saat mood-ku mulai menurun. Di saat
itu pula suara Myung Soo mengubah segalanya. Mengubah mood-ku menjadi lebih baik. Menguapkan semuruh rasa lelahku,
menjadi suntikan semangatku. Juga membuatku mengumbar senyum manis di kedua
sudut bibirku.
“Yoeboseo, Na Young-a.” Oh, betapa suara berat Myung Soo itu sangat menanangkan.
Merefleksikan kekesalanku, pada pekerjaan.
“Yoebosoe, Myung Soo-a. Ada apa?”
“Kau ada di
mana?” terdengar suaranya di seberang sana yang mengajukan pertanyaan tentang
keberadaanku.
“Aku baru saja keluar
dari kantor. Ada apa?” Lagi, ku ajukan pertanyaan yang sama dengan pertanyaan
beberapa detik lalu. Menanyakan maksud ia menelfonku.
“Jika kau tak
keberatan ku tunggu kau di choffeshop tempat kita pertama kali bertemu dulu.
Aku menunggumu. Sampai jumpa.” Sedetik kemudian, setelah ia menyelesaikan
frasanya, ia menutup sambungan telefonnya. Aku hanya menghela nafas panjang.
Biarlah seluruh tubuhku yang penat ini ku paksakan menemuinya. Alih-alih
senyumnya mampu menguapkan kepenatanku.
Ku langkahkan
kakiku menyusuri jalan menuju halte bus. Berharap masih ada bus yang akan
menungguku.
Senja baru akan
dimulai. Nampak matahari mulai merangkak ke arah Barat, dari jendela kaca bus
ini. Namun, belum sepenuhnya tenggelam, masih sedikit menampakkan dirinya. Dan
kini, semburat jingga kemerahan itu, mulai menutupi biru langit. Bahkan kini
klakson-klakson mobil itu, mulai bersahutan. Seolah menginginkan jalan tercepat
menuju rumah mereka.
Kini bus yang
ku tumangi berhenti di pemberhentian pertama. Halte yang berjarak beberapa
meter dari tempat yang dijanjikan Myung Soo. Segera ku langkahkan kakiku
menuruni bus ini.
Dan aku masih
di sini. Di tempat pemberhentian ini. Sedikit enggan beranjak, mengingat
klakson-klakson itu masih saja bersahutan. Tak menginginkan siapa yang akan
mengalah. Ku hembuskan nafas kasar. Mood-ku
sedikit memburuk, lagi. Andai saja Myung Soo menungguku di sini. Sehingga aku tak
perlu menyeberang ke choffeshop di seberang sana. Aku seperti kembali pada 5
tahun lalu. Di mana aku sangat payah dalam menyeberang.
Lagi, ku
hembuskan nafas kasarku. Sebelum akhirnya ku langkahkan kakiku menyeberangi
jalan Seoul yang nampak ramai ini. Beberapa langkah dari tempat perberhentian
itu, aku seperti merasa seperti merasa sebuah cahaya terang menyorotku. Ketika
kepalaku tolehkan, cahaya itu semakin mendekat, juga klakson yang semakin
nyaring. Mendekat. Dan membuat tubuhku seolah terpental. Aku seolah tak
merasakan apapun. Bahkan Myung Soo yang sering memenuhi pikiranku, ia kini tak
lagi di sana.
.
.
Mungkinkah ini adalah akhir dari
semuanya
Munginkah ini adalah akhir dari
takdirku?
Myung, maafkan aku
Sungguh maafkan aku
Maafkan aku yang tak bisa menjadi gadis
terakhirmu dalam takdirmu
Maafkan aku yang mungkin memberimu
harapan palsu.
Sekali lagi maaf
Maaf..
-THE END-
A/N :
Well, aku tak tahu harus berkata apa lagi. Ff ini ada yg
terinspirasa dari ff lain, tapi ada juga yg terinspirasi dari drama juga.Yg
jelas, ff ini masih banyak kekurangan, dan aku sadar itu. Untuk itu, komentar
kalian sangat dibutuhkan. Oh iya, setelah ini masih ada epilog, yang mungkin
akan nyambung dgn cover-nya. Hehe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkomentar ^^