Love
Is Sick
(EPILOG)
A fanfiction by Zi_You
Title :
Love Is Sick | Main Cast : Kim Myung
Soo, Song NaYoung(OC)| Genre :
Romance, (A little bit) Fluff, Hurt| Duration
: Ficlet |
NOTE :
In this part, all of side is
L(MyungSoo)’s side.
Hope you like this.
Happy
reading!
.
“Do you know, the meaning fate is?”
.
.
Seoul, Seouth Korea
October, 20, 2010—MUSIM GUGUR
Ruangan
itu, nampak lengang dari jarak pandang beberapa meter dari pohon tua, tempatku
berdiri. Namun, angin musim gugur yang tidak hanya mengantarkan desiran
dedaunan, tetapi juga mengantarkan dentingan halus, yang dapat ku duga dari
ruangan itu. Alunan dentingan halus, yang menggelitik gendang telingaku.
Dentingan itu, kini bukan saja terdengar samar-samar, namun semakin terdengar
tajam oleh indera pendengaranku, seiring langkah kakiku yang mendekati ruangan
itu.
Iris
coklat ku menyisir ruangan ini. Pernyataanku salah. Ruangan ini tak lenggang
seperti saat indera penglihatanku menangkap bayangan ruangan ini. Mereka
tersenyum simpul padaku, pun pastur di sana. Ia tersenyum simpul.
Lagi,
iris coklatku menyisir ruangan yang telah di desain ini. Hanya warna putih di
sepanjang iris coklat ku menyisir ruangan ini. Juga harum mawar yang mengelitik
rongga hidungku, sejak langkah kakiku terhenti diantara apitan pintu bercat
putih, pula.
Langkah
kaki ku semakin mendekati pastur yang semenjak tadi membawa kitab di tangan
kanannya. Menyisakan jarak pandang yang kurang dari dua langkah kaki, dari
tempatku berdiri sekarang.
Ku
balikkan tubuhku. Kini bukan lagi pastur yang berdiri tegap, yang menjadi pusat
perhatianku. Melainkan dia, yang menjadi pusat perhatianku. Seorang gadis yang
berdiri di antara apitan pintu putih. Gaun putih panjang yang ia pakai, terjuntai panjang ke
bawah, bahkan kelihatan menutupi jemari kakinya. Membuatnya kelihatan bukan
saja cantik, tapi juga anggun. Sehelai kain tipis berongga kecil, menutupi
wajah cantiknya, hingga senyum simpul manisnya kelihatan samar.
‘Sungguh,apakah
tak ada kata yang mampu kuucapkan, melebihi kata sempurna?’ Empat gadis kecil dengan keranjang
kecil yang berisikan mawar, menghantarkannya mendekatiku. Namun, semakin jarak
pandangku mendekat dengannya, ia semakin menjauhi jarak pandangku. Bahkan
ketika empat gadis kecil itu semakin mendekati jarak pandangku, ia terlihat
melangkahkan kakinya bukan ke depan, tetapi melangkah lebar ke belakang. Ia
seolah lupa dengan gaunnya yang menghalangi langkahnya.
Semakin ku langkahkan kakiku,
semakin ia melangkahkan kakinya ke belakang.
Semakin ku langkahkan kakiku,
semakin pudar pula senyum simpul manisnya.
Begitu, hingga ku julurkan tanganku
yang ku rasa mampu merengkuh tangan pucatnya, namun ia semakin melangkahkan
kakinya ke belakang. Bukan. Tepatnya seperti terbawa hembusan angin musim
gugur. Terlihat seperti ia dedaunan maple yang rapuh.
Semakin arah pandangku mendekatinya,
ia semakin samar. Entah. Pandanganku yang mulai berkurang, atau kehadirannya
beberapa menit lalu hanya dalam alam bawah sadarku, bukan alam nyata?
“NaYoung-a” Semakin ku pertajam panggilanku,
semakin ia terlihat samar, dan akhirnya hilang dari penglihatanku. Juga ketika
iris mataku dengan cepat menyisir ruangan ini, mereka dan pastur yang tersenyum
simpul kepadaku seolah mengikutinya yang terbawa angin musim gugur. Seolah
meninggalkanku di ruangan yang lenggang ini.
Semakin kakiku berusaha mengejarnya
yang tak menyisakan jejaknya untukku, semakin kakiku dibuat lemah olehnya,
hingga tak mampu menopang berat badanku. Dadaku terasa sesak. Namun, aku berusaha menarik napas
panjang dengan hati-hati, tapi dadaku semakin terhimpit. Sebutir linangan air mata
menetes dari pelupuk mataku. Oh, apakah aku mengabaikan sesak
ini beberapa menit tadi, hingga hanya ada ambisiku?
August, 8 2010
Sebuah
kata—Bahagia—itu adalah sebuah kata yang menggambarkan
perasaan hatiku, saat indra penglihatanku menangkap sosoknya yang kini duduk
manis di jarak terjauh dariku. Walaupun begitu, rasa itu selalu membuncah, saat
melihatnya. Melihatnya dengan segerombol burung merpati itu, juga dengan senyum
manisnya.
Ku langkahkan kakiku mendekatinya.
Dengan langkah kaki pelan, yang sebisa mungkin tak mengganggunya. Di jarak
terdekat dengannya ini, ku dapati ia masih dengan merpati-merpati itu, juga
biji-bijian di tangannya. Bahkan tak mengetahui keberadaanku.
“Secangkir latte untuk menemanimu
bersama mereka, Nona Song.” Suara beratku yang terdengar seperti bisikan
menggelitik telinganya. Bersamaan dengan itu, tangan kananku terayun.
Menempelkan secangkir latte, di pipinya. Ia lalu menoleh kepadaku, sebagai
respon tindakanku.
“Oh, terima kasih untuk latte-nya Tuan
Kim.” Ucapnya seraya menepuk bangku kosong disebelahnya. Seolah menginginkanku
duduk di sana.
“Kau pernah mendengar kesetiaan
merpati, Myung?” ucapnya seraya menyesap secangkir lattenya. Dan membiarkan
aroma latte-nya menusuk hidungnya.
“Ya. Aku berharap hubungan ini
seperti mereka. Menjadikan pasangannya sebagai takdirnya.” Ucapku, seraya
mengumbar senyum manisku.
“Anggap aku adalah salah satu dari
sepasang merpati, dan kau salah satu lainnya. Jika aku pergi dari kehidupan,
juga takdirmu, apa yang akan kau lakukan?” ia mengajukan sebuah pernyataan
dengan tatapan matanya yang menatapku serius.
“Aku akan mengejarmu hingga ke ujung
dunia. Karena kau takdirku.”
“Walaupun aku pergi tanpa
meninggalkan jejak? Walaupun mungkin aku pergi ke dunia lain? Apa yang akan kau
masih mengejarku?” Pernyataannya membuat tenggorokanku tercekat. Oh, bagaimana
bisa ia mengajukan pertanyaan yang jawabannya saja aku harus memutar otakku,
dengan keras.
“Jika salah satu dari sepasang
merpatimu pergi ke dunia yang berbeda, jangan kau kejar, Myung. Kau akan
sakit.”
“Hyung, kapan terakhir kali kau menangis?” Suara itu, tentu bukan
suara lembut yang ku harapkan dari gadis cantik tadi. Suara itu, terdengar
tajam dan dalam. Seperti tepat masuk dalam relung hatiku.
“Berapa kali pula harus ku katakan.
Jangan kau datang kemari, bahkan dengan tuxedo-mu itu. Dia tak akan datang, hyung. Kau hanya membuang waktumu.
Percayalah.” Bahkan ketika lelaki itu mengakhiri frasanya, seperti ia mengarahkan
belati pisaunya ke ulu hatiku. Tidakkah itu terdengar menyakitkan? Bahkan
semakin ku pererat tuxedo yang sedari tadi ku remas, sesakku tak kunjung
mereda. Dengan kepalaku yang tertunduk, menyembunyikan air mataku, juga kepalan
tangan kiriku yang sengaja ku hantam pada keramik putih itu.
September, 9 2010
Bahagia
itu, saat ia bersamaku. Berada di sampingku, untukku menggenggam jemariku,
dalam tautan jemarinya. Lalu, tersenyum manis untukku. Saat itulah rasa itu
selalu membuncah dalam benakku.
Masih
ku pandangi dua cincin perak itu, yang masih melingkar dalam kotak kecil
tersebut. Aku bahkan tak bisa membayangkan bagaimana ekspresinya saat ia
menerima cincin dariku, sebagai tanda keseriusanku, padanya.
Aku
masih di sini. Menunggunya di depan kafe yang ku janjikan padanya. Namun,
sedari tadi deguban jantungku, seolah tak dapat ku kontrol. Entah berapa kali
ku hembuskan nafasku. Menghilangkan kegugupanku.
Namun,
sebuah suara yang tertangkap indra pendengaranku, mengalihkan perhatianku.
Entah dari mana asalnya, namun ku rasa tak begitu jauh dari tempatku berdiri.
Bahkan beberapa orang di sekitarku, pun melangkah dengan tergesa untuk menuju
pertigaan di yang tak jauh dari tempatku berdiri.
Ku
langkahkan kakiku mengikuti arah langkah beberapa orang tersebut. Dan di sana
dapat ku lihat seorang gadis yang tengah dilingkari beberapa orang tadi. Gadis
yang tak asing lagi bagiku, kini tengah tergeletak lemah dengan darah yang
mengalir dari jidatnya. Tentu tidak dengan kesadarannya. Kelopak matanya
tertutup. Menahan rasa sakit dalam lelapnya.
“Na
Young-a.”
Tenggorokanku terasa tercekat memanggil namanya. Bahkan deru nafasku tak dapat
ku kontrol dengan semestinya.
Inikah
alam nyataku yang dapat terlihat nyata yang terlihat samar oleh indera
penglihatanku, beberapa menit lalu? Tidakkah ini menyakitkan?
‘Aku terlihat kacau, sekarang.
Bagaimana jika ia melihatku? Tidakkah ini memalukan?’
“Simpan
air matamu, hyung. Ia pun menangis,
jika kau menangis. Jangan kau buat ia susah di alamnya.” Suara itu terdengar
melunak. Tak seperti beberapa menit lalu, yang terdengar membara.
“Aku
tak sanggup, Sungjong-a. Ini
menyakitkan. Aku bahkan tak tahu harus dengan cara apa aku menggantikan pedih
ini dengan senyuman? Ini...”
“Aku
tahu ini sulit untukmu, hyung. Tapi,
tidakkah kau berfikir ada banyak hal yang mampu menghilangkan pedihmu, juga
melupakan....”
“Tidak.
Aku tak akan melupakannya. Tapi, aku akan menjadikannya kenangan terindah dalam
memoriku.”
.
.
.
I wanna go back
I wanna tell to my fate
“She is my girl. She is mine”
Keep our distance
Because I always hope
She is my fate
.
.
A/N:
Oke, ff ini sangat banyak kekurangan. Dan harus ku
akui. Kalau pun gak ada epilog ini, mungkin gak akan nyambung sama covernya
yang udah berbau pernikahan. Jadi, sengaja aku bikin epilog yang menggambarkan
betapa kehilangannya L(MyungSoo) atas kepergian NaYoung. Maaf kalo bahasanya
terlalu susah dimengerti. Well,
tinggalkan komentar kalian untuk ff ini ya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkomentar ^^