Sabtu, 22 Februari 2014

Love is Sick (Epilog)



Love Is Sick


(EPILOG)

A fanfiction by Zi_You


Title : Love Is Sick | Main Cast : Kim Myung Soo, Song NaYoung(OC)| Genre : Romance, (A little bit) Fluff, Hurt| Duration : Ficlet | 

NOTE :
In this part, all of side is L(MyungSoo)’s side.
Hope you like this.

Happy reading!
.
 “Do you know, the meaning fate is?”
.
.
Seoul, Seouth Korea
October, 20, 2010MUSIM GUGUR
Ruangan itu, nampak lengang dari jarak pandang beberapa meter dari pohon tua, tempatku berdiri. Namun, angin musim gugur yang tidak hanya mengantarkan desiran dedaunan, tetapi juga mengantarkan dentingan halus, yang dapat ku duga dari ruangan itu. Alunan dentingan halus, yang menggelitik gendang telingaku. Dentingan itu, kini bukan saja terdengar samar-samar, namun semakin terdengar tajam oleh indera pendengaranku, seiring langkah kakiku yang mendekati ruangan itu.
Iris coklat ku menyisir ruangan ini. Pernyataanku salah. Ruangan ini tak lenggang seperti saat indera penglihatanku menangkap bayangan ruangan ini. Mereka tersenyum simpul padaku, pun pastur di sana. Ia tersenyum simpul.
Lagi, iris coklatku menyisir ruangan yang telah di desain ini. Hanya warna putih di sepanjang iris coklat ku menyisir ruangan ini. Juga harum mawar yang mengelitik rongga hidungku, sejak langkah kakiku terhenti diantara apitan pintu bercat putih, pula.
Langkah kaki ku semakin mendekati pastur yang semenjak tadi membawa kitab di tangan kanannya. Menyisakan jarak pandang yang kurang dari dua langkah kaki, dari tempatku berdiri sekarang.
Ku balikkan tubuhku. Kini bukan lagi pastur yang berdiri tegap, yang menjadi pusat perhatianku. Melainkan dia, yang menjadi pusat perhatianku. Seorang gadis yang berdiri di antara apitan pintu putih. Gaun putih panjang yang ia pakai, terjuntai panjang ke bawah, bahkan kelihatan menutupi jemari kakinya. Membuatnya kelihatan bukan saja cantik, tapi juga anggun. Sehelai kain tipis berongga kecil, menutupi wajah cantiknya, hingga senyum simpul manisnya kelihatan samar.
‘Sungguh,apakah tak ada kata yang mampu kuucapkan, melebihi kata sempurna?’ Empat gadis kecil dengan keranjang kecil yang berisikan mawar, menghantarkannya mendekatiku. Namun, semakin jarak pandangku mendekat dengannya, ia semakin menjauhi jarak pandangku. Bahkan ketika empat gadis kecil itu semakin mendekati jarak pandangku, ia terlihat melangkahkan kakinya bukan ke depan, tetapi melangkah lebar ke belakang. Ia seolah lupa dengan gaunnya yang menghalangi langkahnya.
Semakin ku langkahkan kakiku, semakin ia melangkahkan kakinya ke belakang.
Semakin ku langkahkan kakiku, semakin pudar pula senyum simpul manisnya.
Begitu, hingga ku julurkan tanganku yang ku rasa mampu merengkuh tangan pucatnya, namun ia semakin melangkahkan kakinya ke belakang. Bukan. Tepatnya seperti terbawa hembusan angin musim gugur. Terlihat seperti ia dedaunan maple yang rapuh.
Semakin arah pandangku mendekatinya, ia semakin samar. Entah. Pandanganku yang mulai berkurang, atau kehadirannya beberapa menit lalu hanya dalam alam bawah sadarku, bukan alam nyata?
NaYoung-a” Semakin ku pertajam panggilanku, semakin ia terlihat samar, dan akhirnya hilang dari penglihatanku. Juga ketika iris mataku dengan cepat menyisir ruangan ini, mereka dan pastur yang tersenyum simpul kepadaku seolah mengikutinya yang terbawa angin musim gugur. Seolah meninggalkanku di ruangan yang lenggang ini.
Semakin kakiku berusaha mengejarnya yang tak menyisakan jejaknya untukku, semakin kakiku dibuat lemah olehnya, hingga tak mampu menopang berat badanku. Dadaku terasa sesak. Namun, aku berusaha menarik napas panjang dengan hati-hati, tapi dadaku semakin terhimpit. Sebutir linangan air mata menetes dari pelupuk mataku. Oh, apakah aku mengabaikan sesak ini beberapa menit tadi, hingga hanya ada ambisiku?
August, 8 2010
Sebuah kataBahagiaitu adalah sebuah kata yang menggambarkan perasaan hatiku, saat indra penglihatanku menangkap sosoknya yang kini duduk manis di jarak terjauh dariku. Walaupun begitu, rasa itu selalu membuncah, saat melihatnya. Melihatnya dengan segerombol burung merpati itu, juga dengan senyum manisnya.
Ku langkahkan kakiku mendekatinya. Dengan langkah kaki pelan, yang sebisa mungkin tak mengganggunya. Di jarak terdekat dengannya ini, ku dapati ia masih dengan merpati-merpati itu, juga biji-bijian di tangannya. Bahkan tak mengetahui keberadaanku.
“Secangkir latte untuk menemanimu bersama mereka, Nona Song.” Suara beratku yang terdengar seperti bisikan menggelitik telinganya. Bersamaan dengan itu, tangan kananku terayun. Menempelkan secangkir latte, di pipinya. Ia lalu menoleh kepadaku, sebagai respon tindakanku.
“Oh, terima kasih untuk latte-nya Tuan Kim.” Ucapnya seraya menepuk bangku kosong disebelahnya. Seolah menginginkanku duduk di sana.
“Kau pernah mendengar kesetiaan merpati, Myung?” ucapnya seraya menyesap secangkir lattenya. Dan membiarkan aroma latte-nya menusuk hidungnya.
“Ya. Aku berharap hubungan ini seperti mereka. Menjadikan pasangannya sebagai takdirnya.” Ucapku, seraya mengumbar senyum manisku.
“Anggap aku adalah salah satu dari sepasang merpati, dan kau salah satu lainnya. Jika aku pergi dari kehidupan, juga takdirmu, apa yang akan kau lakukan?” ia mengajukan sebuah pernyataan dengan tatapan matanya yang menatapku serius.
“Aku akan mengejarmu hingga ke ujung dunia. Karena kau takdirku.”
“Walaupun aku pergi tanpa meninggalkan jejak? Walaupun mungkin aku pergi ke dunia lain? Apa yang akan kau masih mengejarku?” Pernyataannya membuat tenggorokanku tercekat. Oh, bagaimana bisa ia mengajukan pertanyaan yang jawabannya saja aku harus memutar otakku, dengan keras.
“Jika salah satu dari sepasang merpatimu pergi ke dunia yang berbeda, jangan kau kejar, Myung. Kau akan sakit.”
Hyung, kapan terakhir kali kau menangis?” Suara itu, tentu bukan suara lembut yang ku harapkan dari gadis cantik tadi. Suara itu, terdengar tajam dan dalam. Seperti tepat masuk dalam relung hatiku.
“Berapa kali pula harus ku katakan. Jangan kau datang kemari, bahkan dengan tuxedo-mu itu. Dia tak akan datang, hyung. Kau hanya membuang waktumu. Percayalah.” Bahkan ketika lelaki itu mengakhiri frasanya, seperti ia mengarahkan belati pisaunya ke ulu hatiku. Tidakkah itu terdengar menyakitkan? Bahkan semakin ku pererat tuxedo yang sedari tadi ku remas, sesakku tak kunjung mereda. Dengan kepalaku yang tertunduk, menyembunyikan air mataku, juga kepalan tangan kiriku yang sengaja ku hantam pada keramik putih itu.
September, 9 2010
Bahagia itu, saat ia bersamaku. Berada di sampingku, untukku menggenggam jemariku, dalam tautan jemarinya. Lalu, tersenyum manis untukku. Saat itulah rasa itu selalu membuncah dalam benakku.
Masih ku pandangi dua cincin perak itu, yang masih melingkar dalam kotak kecil tersebut. Aku bahkan tak bisa membayangkan bagaimana ekspresinya saat ia menerima cincin dariku, sebagai tanda keseriusanku, padanya.
Aku masih di sini. Menunggunya di depan kafe yang ku janjikan padanya. Namun, sedari tadi deguban jantungku, seolah tak dapat ku kontrol. Entah berapa kali ku hembuskan nafasku. Menghilangkan kegugupanku.
Namun, sebuah suara yang tertangkap indra pendengaranku, mengalihkan perhatianku. Entah dari mana asalnya, namun ku rasa tak begitu jauh dari tempatku berdiri. Bahkan beberapa orang di sekitarku, pun melangkah dengan tergesa untuk menuju pertigaan di yang tak jauh dari tempatku berdiri.
Ku langkahkan kakiku mengikuti arah langkah beberapa orang tersebut. Dan di sana dapat ku lihat seorang gadis yang tengah dilingkari beberapa orang tadi. Gadis yang tak asing lagi bagiku, kini tengah tergeletak lemah dengan darah yang mengalir dari jidatnya. Tentu tidak dengan kesadarannya. Kelopak matanya tertutup. Menahan rasa sakit dalam lelapnya. 
“Na Young-a.” Tenggorokanku terasa tercekat memanggil namanya. Bahkan deru nafasku tak dapat ku kontrol dengan semestinya.
Inikah alam nyataku yang dapat terlihat nyata yang terlihat samar oleh indera penglihatanku, beberapa menit lalu? Tidakkah ini menyakitkan?
‘Aku terlihat kacau, sekarang. Bagaimana jika ia melihatku? Tidakkah ini memalukan?’
“Simpan air matamu, hyung. Ia pun menangis, jika kau menangis. Jangan kau buat ia susah di alamnya.” Suara itu terdengar melunak. Tak seperti beberapa menit lalu, yang terdengar membara.
“Aku tak sanggup, Sungjong-a. Ini menyakitkan. Aku bahkan tak tahu harus dengan cara apa aku menggantikan pedih ini dengan senyuman? Ini...”
“Aku tahu ini sulit untukmu, hyung. Tapi, tidakkah kau berfikir ada banyak hal yang mampu menghilangkan pedihmu, juga melupakan....”
“Tidak. Aku tak akan melupakannya. Tapi, aku akan menjadikannya kenangan terindah dalam memoriku.”
.
.
.
I wanna go back
I wanna tell to my fate
“She is my girl. She is mine”
Keep our distance
Because I always hope
She is my fate
.
.
A/N:
Oke, ff ini sangat banyak kekurangan. Dan harus ku akui. Kalau pun gak ada epilog ini, mungkin gak akan nyambung sama covernya yang udah berbau pernikahan. Jadi, sengaja aku bikin epilog yang menggambarkan betapa kehilangannya L(MyungSoo) atas kepergian NaYoung. Maaf kalo bahasanya terlalu susah dimengerti. Well, tinggalkan komentar kalian untuk ff ini ya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar ^^