Destiny
The Fact
.
by Aydipal
Editor by Zi_You
.
Watch:
Video Teaser
.
Read:
Chapter 1 | Chapter 2 | Chapter 3 | Chapter 4 | Chapter 5 | Now
.
.
Watch:
Video Teaser
.
Read:
Chapter 1 | Chapter 2 | Chapter 3 | Chapter 4 | Chapter 5 | Now
.
.
Title : Destiny |
Main Cast : Lee Ha Yi, DO Kyung Soo (EXO-K), Baro (B1A4) | Other Cast : Henry Lau
(Super Junior M), Park Hyung Shik (ZE:A) | Genre
: Romance, School Live| Duration :
Chapter
.
Happy
reading!
.
.
.
-Flashback-
Musim Panas, Juli 2010
Baro POV
Ku
hirup udara di musim panas tahun ini. Sangat menyenangkan. Dapat kurasakan
hembusan angin yang berhasil menerpa lapisan kulit luar tubuhku lembut.
Berkali-kali ku kembangkan senyuman diwajahku. Meski entah berapa tahun aku telah
bertempat tinggal di Seoul, aku masih saja kagum dibuatnya. Kembali, ku tarik tali
tas punggung yang kupakai, yang sudah lama, bertengger rapi dipunggungku. Tas
ini terasa sangat berat karena kakak laki-lakiku, menyuruhku untuk mengambil
kotak obat dari rumah bibi yang tak jauh dari sekolahku. Alhasil, tasku yang
sudah dipenuhi oleh buku-buku pelajaran, yang cukup membuat punggungku bungkuk
jika dipakai dalam jangka waktu lama, bertambah beban lagi ketika kotak obat
ini berada di dalamnya.
Ku
menghela napas, lalu mempercepat lagi langkahku untuk sampai kerumah. Beban
berat di punggung membuatku harus menundukkan kepala agar beban beratnya tidak
terlalu kurasakan. Lama berjalan, hingga tubuhku menabrak seseorang.
BUUKK
Sebuah
suara tercipta ketika tubuhku berhasil menabrak tubuh seseorang. Ku angkat
kepalaku. Ku lihat seorang gadis tersungkur di hadapanku. Diriku yang dibuat
panik olehnya hanya menggaruk-garuk kepalaku yang tak gatal. Aku ingin
menolongnya untuk berdiri. Namun, tas punggung yang kubawa sangat menganggu
meski hanya untuk sekedar membungkukkan badan. Karena itu segera ku lepas tas
punggung yang kupakai, meletakkannya pada sisi sebuah pohon pembatas jalan yang
tepat berada disamping gadis yang masih dalam posisinya.
“Mianhamnida.” ucapku lalu menjongkokkan
badanku dan menolongnya berdiri.
Ku
pegang lengan kanannya. Sepintas kulihat ekspresi wajahnya yang masih
mengernyit kesakitan. Tak lama kemudian ia membersihkan lututnya yang kotor
dengan tangan kiri. Ia menatapku, membuatku mengajukan sebuah pertanyaan
padanya.
“Apa
kau baik-baik saja, Nona?”
“Nan Gwenchana-yo”
Jawabnya
cepat yang tak berhasil membuatku tak khawatir. Mataku menyusuri tubuh
mungilnya yang mungkin terluka. Dan, Gotcha!
Terdapat goresan luka di siku tangan kirinya. Ku hela napasku memandang gadis
berparas cantik itu. Ia hanya tersenyum samar karena tertangkap basah berbohong
olehku.
“Mari
ku obati lukamu.”
Ajakku
mengambil tas yang kuletakkan lalu meraih jemari tangan kanannya yang tak terluka
dan menariknya mengikuti langkahku. Sebenarnya, aku tak tau harus membawanya
kemana. Aku hanya berjalan lurus ke depan saja. Dan benar saja, aku lupa kalau
dideretan jalan ini, ada cafe kesukaanku yang biasanya sering kukunjungi
bersama kakak laki-lakiku. Segera kupijakkan langkahku menuju cafe itu.
Sesampainya
ditempat itu, segera ku keluarkan kotak obat dari tasku. Ternyata ada untungnya
juga ku membawa kotak obat yang berat seperti ini jika akhirnya aku dapat
menolong orang yang ku tabrak. Perlahan, ku bersihkan luka gadis itu dengan
kapas. Sesekali, ia mengernyit dan menggertakkan rahangnya menahan sakit.
“Selesai.
Untung saja aku membawa kotak obat ini. Kau baik-baik saja kan, Nona?” ucapku
setelah selesai mengobati gadis ini. Ia hanya tersenyum dan menjawab sekenanya
saja.
Ku
memesan minuman untuk kami pada salah satu pelayan yang sedari tadi berdiri
menunggu pelanggan dari samping tempat kasir. Ia hanya mengangguk ringan dan
tak lama kemudian minuman yang kami pesan telah sampai. Aku senang menyambutnya.
Sudah satu minggu ini,aku tak merasakan minuman ini. Tanpa sadar, gadis yang
berada di hadapanku melihatku dengan tatapan aneh.
“Minuman
apa yang kau minum itu? Kenapa aku seperti baru melihatnya pertama kali?” tanya
gadis itu dan hanya ku sambut dengan senyuman tipis. Aku sudah biasa menerima
pertanyaan seperti itu lengkap dengan ekspresi yang aneh sama dengan apa yang
dilakukan oleh gadis ini.
“Ini? Ini
adalah cappuccino yang kucampur dengan coffee americano lalu ditambah dengan
susu coklat..” ia membulatkan kedua bola matanya tak percaya. Aku yakin, ia
baru pertama kali mendengar komposisi minuman seperti ini. Tapi aku hanya
membalas ekspresi keanehannya itu dengan santai. Karena lagi-lagi aku sudah
terbiasa dengan ekspresi orang yang terkejut setelah mendengar komposisi
minuman yang kuminum.
“Mwo? Apa
itu tidak apa-apa? Dari tampilannya saja tidak menyakinkan untuk meminum
minuman itu.” Ia masih pada ekspresi yang sama. Aku hanya menghela napasku
ringan dan menyodorkan minuman yang berada di tangan kananku.
“Mau
coba?”
“Apa kau
yakin ini tidak akan membunuhku?”
“Buktinya
saja, aku masih hidup sampai sekarang..”
“Ah.. Molla. Aku tidak akan meminumnya.”
“Baiklah.
Terserah apa maumu.”
Segera
kuminum kembali minumanku setelah tawaranku ditolak mentah-mentaholehnya. Dan
diriku sendiri pun, tidak akan memaksanya untuk meminum minumanku. Aku tidak
menjamin kalau ia akan menyukai rasa yang dianggap oleh orang lain sangat oddly yang menurutku sendiri rasa ini
sangat tasty.
Satu
detik berlalu, dua detik berlalu, tak terasa detik demi detik kulewati sangat
cepat saat aku mulai mengenal gadis ini. Hari-hari kulewati bersama gadis ini
di tempat cafe yang sering kukunjungi. Hubungan kami pun semakin dekat dan
dekat. Tanpa kusadari, bahwa kami telah
menjalani hubungan yang semakin dekat selama dua bulan lebih tanpa mengetahui
nama satu sama lain. Bahkan, nomor handphone wanita itu di handphoneku hanya
kunamai Geu Yeoja saja. Sagat
menyedihkan. Karena itu, sekarang kuputuskan mengajaknya berkenalan dengan cara
yang benar, lalu memulai dari awal lagi hubungan kami dan memberikannya sebuah
benda yang sangat kusayangi.
Kami
telah duduk di salah satu tempat duduk yang kosong di cafe tempat kami sering
bertemu. Keheningan yang tak biasanya kurasakan jika berada disekitarnya, kini
terjadi padaku. Tidak biasanya aku kehilangan semua kata-kata yang sudah
kupersiapkan dari rumah untuk membuka percakapan dengannya. Berulang kali ku
hembuskan napasku, mengatur emosi. Rasa gugup mulai menguasai tubuhku. Semakin
ku menahan atau menghilangkan rasa gugup itu, maka akan semakin menjadi-jadi.
Ia
membuka percakapan dahulu di antara kami. Aku hanya dapat bersyukur akhirnya
ada sebuah kata yang dapat ia dengar dari gadis yang sudah sekian lama duduk di
depannya diam.
“Sebenarnya...
Ini.”
Ku
mengatur napasku yang naik turun. Memberanikan diri menyerahkan benda
kesayanganku milik nenek yang diberikan padaku. Sebuah kalung yang terdapat
simbol musik disana. Yaitu simbul kunci G. Ia awalnya bingung dan sekali lagi
kuberanikan diriku untuk memakaikan kalung itu padanya. Setelah selesai
memakaikannya, tak terbesit sedikitpun penyesalan dalam hati ketika benda
kesayanganku berpindah tangan padanya. Ia nampak cocok sekali memakai kalung
ini dan terlihat sangat cantik.
Aku
terkesiap, terpukau melihat gadis ini semakin cantik dan cantik ketika ku
melihatnya. Kurasa, ia adalah cinta pertamaku. Cinta pertama yang kuperoleh
dari sebuah kotak obat yang membuat tasku berat dan akhirnya membuatku harus
bertabrakan dengannya di jalan. Aku seharusnya berterima kasih pada kakak
laki-lakiku, karena sudah menyuruhku mengambil kotak itu dari rumah bibi.
“Siapa
namamu?”
Akhirnya
ku mulai mengucapkan kalimat yang sudah kupersiapkan dari rumah dan sudah ku
peragakan bagaimana seharusnya ekspresi yang harus kutunjukkan dari depan kaca
kamarku.
“Lee
Ha Yi.”
Aku
menghela napas lega. Karena akhirnya ia menjawab juga pertanyaanku. Ha Yi, nama
yang cantik yang sangat serasi dengan wajahnya yang cantik sekaligus imut. Aku
tersenyum mendengarnya. Ia lalu mengajukan sebuah pertanyaan padaku setelah ku
kubertanya dimana rumahnya. Ia belum bertanya namaku. Melainkan, dimana rumahku
berada. Pertanyaannya yang pertama ku jawab dengan singkat, jelas, dan padat.
Aku tak ingin bertele-tele dan membuatku semakin gugup.
“Nama?”
Akhirnya pertanyaan itu terdengar juga ditelingaku. Sudah seharusnya ia
menanyakannya.
“Nama?
Namaku—” belum sempat meneruskan kalimatku, sebuah suara tercipta dari saku jas
yang kupakai. Segera kuambil ponsel yang sedang berdering itu dan mendapati
sebuah nama tertera di layar. Disana tertulis penelpon bernama Kyungsoo. Ku
mengerutkan keningku dan meminta izin pada Ha Yi untuk meninggalkannya
sebentar, menjawab telepon.
“Kyungsoo-ya!
Ada apa kau menghubungiku?” tanyaku pada adik angkatku. Ia anak angkat dari
orang tuaku. Meski begitu aku sangat menyayanginya dan menganggapnya seperti
adikku sendiri.
“Hyung! Cepat pulang ke Jepang! Appa! Appa! Appa tadi pingsan
dan sekarang berada di ruang ICU! Sepertinya penyakit Appa kambuh!” nada panik dapat kurasakan dari ujung telepon yang
berhasil pula mempengaruhiku untuk panik juga. Segera ku tutup sambungan
teleponku dengan Kyungsoo dan langsung mencari taksi untuk segera pergi ke
bandara dan mencari tiket pesawat untuk ke Jepang secepatnya.
Dalam
perjalanan, ku sempatkan mengirimi Ha Yi sebuah pesan singkat untuk tidak
menungguku. Terbesit rasa penyesalan di dalam benakku meninggalkan Ha Yi
sendirian disana. Meski ia sudah mengiriminya sebuah pesan dan sudah pula
meminta maaf di pesan itu, tetap saja ada yang mengganjal di pikirannya.
Taksi
yang kunaiki telah berhenti melaju dan telah terparkir rapi disamping jalan
bandara. Kini, waktunya ku harus keluar dari tempat ini. Segera ku ambil uang
yang terdapat di tasku dan melesat keluar. Pertama yang kucari adalah kamar
mandi. Sangat tidak lucu jika ada penumpang yang memakai baju seragam sekolah
saat naik ke pesawat. Untung saja hari ini ada pelajaran olahraga. Setidaknya
aku dapat mengganti celanaku dengan celana training dan memakai jaket yang
kupakai.
Setelah
selesai, segera ku menuju tempat tiket untuk mencari tahu kepergian pesawat ke Jepang
yang terdekat. Baru dalam perjalanan kesana tiba-tiba saja aku lupa bahwa aku
tidak membawa passport. Bodoh! Ku
mengumpat pada diriku sendiri. Bagaimana bisa ku tidak kerumah dulu untuk
mengambil passport? Bodohnya!
Berkali-kali kupukuli kepalaku ringan, menggertakkan berkali-kali gigiku hingga
seseorang memanggil.
“Baro-ya!!
Sini!”
Sebuah
suara yang kukenal tiba-tiba saja terdengar ditelingaku. Rasa bahagia
menghampiriku ketika tahu bahwa kakak laki-lakiku juga ada dibandara. Kenapa
aku lupa kalau di Korea aku tinggal bersama kakak laki-kaliku?Jika ayah sakit,
bukankah kakak laki-lakiku itu juga akan ke Jepang? Ah~ Sungguh bodohnya,
diriku!
“Hyung!”
“Kenapa kau tidak menelpon dulu kalau
mau ke bandara? Ini passport-mu dan
ini tiketnya. Penerbangan ke Jepang 30 menit lagi, lebih baik kita segera ke
pesawat. Kajja!” suara Dong Hae hyung berhasil membuatku bernapas lega.
Lalu segera kuikuti tubuh Dong Hae hyung
untuk menuju ke pesawat.
****
“Hyung!” pekik seseorang setelah melihat
kedatanganku di Rumah Sakit dimana ayahku dirawat. Ia adalah Kyungsoo yang
terduduk disalah satu bangku disekitar ruang ICU bersama ibuku yang masih
terisak menangis. Kupercepat langkahmenghampiri mereka, sedangkan Dong Hae hyung masih berada di parkiran rumah
sakit mengambil barang yang ia tinggalkan saat kami baru saja sampai berada di
lobi rumah sakit.
“Hyung! Appa~ dia disa—” Belum sempat Kyungsoo meneruskan perkatannya,
segera ku peluk ia ringan lantas menahan air mata yang sudah berada dipelupuk
mataku. Aku tak ingin terlihat lemah di hadapan adik laki-laki-kuini. Aku tak
ingin melihatnya menjadi lebih sedih ketika melihatku menangis.
“Ia
akan baik-baik saja, Kyungsoo-ya. Percayalah pada hyung.” ucapku meyakinkannya. Ia hanya membalasku dengan anggukan.
Meski tanpa ia sadari, ia masih saja menangis. Ku hela napasku pelan, melihat ibuku
yang tak bergeming, memegang sapu tangan yang sudah basah akan air matanya. Ku
lepas pelukanku pada Kyungsoo dan berjalan ke arah ibuku yang hanya berjarak
beberapa langkah saja dari tempatku berdiri.
“Eomma.” ucapku lirih terduduk disamping
tubuh rapuhnya. Ia tak merespon pertanyaanku. Ia hanya sibuk mengusap air
matanya yang terus bergulir di pipi chubby
nya. Ku hela napasku lagi ringan lalu mengambil sapu tangan yang berada
ditangannya. Dan mengeluarkan sapu tanganku milikku dari jaket yang kupakai
untuk menggannti sapu tangannya yang sudah basah kuyup sedari tadi.
“Kuatkan
dirimu eomma, appa akan baik-baik saja. Bukankah appa tidak suka melihat eomma
menangis? Ia sama sekali tidak suka melihat eomma
menangis karena eomma terlihat sangat
tidak cantik. Jadi, bisakah eomma
tersenyum?” bujukku pada wanita yang berumur 30-an ini sesekali mengembangkan
senyumanku. Ia hanya melihatku sekilas dari mata sendunya lalu mengembangkan
senyuman sekenanya saja.
CEKLEK
Sebuah
suara berasal dari pintu ruang ICU berhasil membuatku segera berdiri dan
menghampiri sekelompok orang yang keluar dari sana. Ia adalah dokter dan
perawat.
“Bagaimana
keadaan Appa saya, dokter? Apa dia
baik-baik saja?” suara gemetar kudengar setelah Dong Hae hyung bertanya, entah sejak kapan ia sudah datang ketempat ini.
Hatiku menjadi sedikit resah ketika dokter belum juga menawab pertanyaan dari kakak
laki-lakiku.
“Dia
akan baik-baik saja setelah istirahat yang cukup dan kami akan segera
memindahkannya keruangan pasien biasa. Mohon untuk keluarga jangan terlalu
khawatir. Dan pasien sekarang belum bisa dijenguk, mungkin besok baru bisa
karena ia harus beristirahat terlebih dahulu.”
“Terimakasih
dokter.” ucapku ketika melihat punggung dokter itu menjauh dari kami. Napas
lega dapat kukeluarkan setelah mendengar jawaban dari dokter. Ayah akan baik-baik
saja. Kini juga dapat kulihat raut wajah lega dari ibu yang segera dibantu
duduk oleh Dong Hae hyung. Sedangkan
Kyungsoo hanya berdiri ditempatnya semula dan berkali-kali menghembuskan
napasnya dalam. Ku tersenyum samar lalu menghampiri Kyungsoo.
“Bukankah
sudah kubilang bahwa ia akan baik-baik saja, Kyungsoo-ya.” ku tepuk bahu
kanannya ringan selagi mengembangkan senyumanku senormal dan semanis mungkin,
berusaha menjadikannya lebih baik ketika melihatku tersenyum.
“Ne
hyung.” jawabnya membalas senyumanku tipis lalu merundukkan kepalanya lagi.
Ku hela napasku ringan lalu menepuk bahu kanannya dua kali.
****
Kyungsoo POV
Kuhempaskan
tubuhku pada bantalan empuk yang terjajar rapi di sofa. Ku pandangi
langit-langit rumah kami dan sesekali menghenghela napas dalam dan memejamkan
kedua kelopak mata. Memikirkan nasib ayahnya yang berada di rumah sakit.
Meskipun aku hanyalah anak angkat saja, tapi aku sangat menyayangi keluarga
baruku ini.
Kuedarkan
pandangan mataku ke arah dapur. Seharian khawatir dirumah sakit sangat menguras
tenagaku. Sudah berkali-kali cacing-cacing yang berada di dalam perutku
merengek ingin diberi makan. Segera ku bawa diriku ke dapur. Lalu kubuka lemari
pendingin berpintu dua itu, mencari makanan-makanan apa saja yang bisa kumakan.
Dan benar saja, disana tidak ada satu pun makanan. Hanya ada air putih dan
beberapa botol yag sudah kosong.
“Ah~”
keluhku setelah melihat keadaan seperti ini. ‘Haruskahku pergi mencari makanan?’ Pikirku dalam hati. Aku tak ada
energi untuk keluar rumah saat ini. ‘Lebih
baik aku minum sajalah’, segera ku tenggak botol minuman itu. Yang
semulanya penuh, kini hanya tersisa sebagian saja. ‘Setidaknya, ini lebih baik dari pada tidak sama sekali.’
“Kyungsoo-ya~”
suara seseorang berhasil mengejutkanku dan hampir saja membuatku menjatuhkan
botol ini dikarenakannya. Segera ku tempatkan botol itu ketempat semula dan
menutup pintu lemari pendingin. Kaki ku menuju ke sumber suara.
Seperti suara Baro
hyung, pikirku.
“Hyung?” ucapku setelah melihat kakak
laki-laki ku yang satu ini membawa dua kantong plastik putih besar
disamping-samping tubuhnya. Ku mengerutkan keningku dalam, bingung apa yang
kini ia bawa. Baro hyung hanya
berjalan saja meninggalkanku yang masih kebingungan ke ruang tamu. Ia tak
banyak bicara, hanya segera membuka kantong plastiknya itu.
“Uah~~
makanan!!” ucapku girang seketika melihat hamparan makanan yang sekarang berada
dihadapanku. Berkali-kali kutelan air liurku yang keluar.
“Kenapa
hanya diam saja? Bukankah kau lapar. Makan saja semua.” Ucap Baro hyung mempersilahkanku. Dan ini tidak
bisa aku sia-siakan. Segera ku ambil satu-satu masakan itu tanpa mempersilahkan
Baro hyung karena saking
bersemangatnya.
“Hyung, kau tidak lapar?”
“Tidak,
makan saja semuanya”
Baro Pov
“Tidak,
makan saja semuanya.” kuhempaskan tubuhku pelan pada sofa yang terjajar rapi di
ruang tamu selagi Kyungsoo menyantap makanannya. Dia terlihat sangat lapar. Ku
taruh tangan kananku di belakang kepala, menjadikan tanganku sebagai tindihan.
Ku lihat langit-langit rumah dan tanpa sengaja aku teringat sesuatu.
‘Ha Yi.. kenapa aku tidak mencoba
menghubunginya’, pikirku. Segera ku rogoh ponsel yang berada di saku depan
celana yang kupakai. Mengetik sebuah pesan kepadanya. Baru mengetik sebagian
pesanku Dong Hae hyung tiba-tiba saja
mengagetkanku.
“Baro-ya,
kau tidak makan?”
“Ne hyung? Ah~ Ani. Aku sudah makan tadi.”
Ku
singgungkan senyumku. Dan kualihkan pandanganku cepat ke ponselku lagi,
meneruskan ketikanku pada Ha Yi. Baru mengetik satu kalimat lagi, Kyungsoo mengangguku.
“Hyung, bagaimana kalau besok kita
jalan-jalan? Bukankah kau baru ke Jepang hari ini?”
“Em”
jawabku singkat pada Kyungsoo dan berhasil membuatnya mendengus pelan karena
jawabanku. Ku kerutkan keningku dalam. Aku masih bingung kalimat apa selanjutnya
untuk mengirimi Ha Yi pesan. Sudah beberapa kali ia menulis dan menghapusnya
lagi.
“Hyung, apa yang kau lakukan? Kau mau aku
bantu? Memang kau sedang apa?”
“Ya!!
Sireo! Ka~! Kenapa kalian berdua mengangguku saja. Ah~ Michigata!”
Ucapku
pada Kyungsoo. Ia hanya tersenyum geli dan sekarang duduk disamping Dong Hae hyung yang berbisik-bisik pada Kyungsoo.
Kuputuskan berjalan menjauh dari mereka ke kaca dekat sebuah televisi yang
bertengger disana. Baru mengetik satu kata, tiba-tiba saja ponsel yang semula
berada di tanganku berpindah tangan.
“Ya
hyung!!! Mwohae?!! Kembalikan ponsel ku! Palli!”
ucapku mengejar Dong Hae hyung yang
membawa ponselku ditangannya dan menganggkat setinggi-tingginya. Kyungsoo hanya
terkekeh di sofa melihat kami yang bekejar-kejaran.
“Kyungsoo-ya!”
ucap kakak laki-lakiku yang langsung melemparkan ponsel ku tepat ke tempat
duduk Kyungsoo. Kyungsoo langsung berlari dan sekarang membacakan pesanku
keras-keras.
“’Lee
Ha Yi, apa yang sedang kau lakukan? Apa kau merindukanku? Mian, karena tadi meninggalkanmu sendirian disana.’ Mwoya? Kau sudah punya pacar di Seoul,hyung?” tanya Kyungsoo sembari berlari
kesana kemari.
“Ya! Kembalikan ponsel ku Kyungsoo-ya!!
Kau ingin mati ditanganku, hah?” gertakku pada Kyungsoo. Ia hanya terkekeh dan
mengejekku dengan memainkan bokongnya.
‘Aigoo~
jinjja! dia benar-benar ingin mati di
tanganku!’.
****
Kyungsoo Pov
Sudah
dua bulan ini ayah di rawat di kamar biasa rumah sakit dan sudah dua bulan ini
pula Baro hyung berada di rumah ini.
Aku senang karena setidaknya aku ada teman bicara yang seumuran denganku. Ku
hela napasku. Aku masih memikirkan perkataan ibu yang menyuruhku bersekolah di
Seoul saja bersama Baro hyung. Ibu
juga berkata disana juga ada yang menjagaku yaitu Dong Hae hyung, Paman, dan Bibi.
Kuedarkan
mataku pada tumbuhan-tumbahan yang indah dan tertata rapi di taman belakang
rumahku. Aku sudah lama tidak duduk-duduk di tempat ini. Rasanya menyejukkan
rongga paru-paru ku. Ku hirup napasku dalam-dalam, tiba-tiba saja aku mendengar
suara berisik dari arah dapur. Ku kerutkan keningku, ‘suara apa itu?’ segera ku langkahkan kakiku menuju seumber suara.
“Aku
mau tinggal disini dulu hyung, kau
bisa membawa Kyungsoo dulu kesana. Aku masih ingin bersama Appa dan Eomma. Aku bisa
menyelesaikan sekolahku dulu disini. Aku sangat merindukan kampung halamanku.
Bolehkah hyung? Kumohon.” Kulihat
Baro hyung sedang berbincang dengan
Dong Hae hyung. Sepertinya mengenai
kepergiannya ke Korea.
“Jinjja? Kau tidak mau ke Korea? Kau mau
disini? Aku tahu kau sangat mengkhawatirkan Appa.
Tapi bukankah dokter sudah bilang dia akan baik-baik saja. Sudahlah, Baro-ya..
kau jangan khawatir.” Bujuk Dong Hae hyung.
“Sungguh
hyung, aku ingin berada disini dulu.
Aku ingin bersama Appa dan Eomma. Bukankah sudah ku bilang tadi?
Bahwa aku juga rindu dengan kampung halamanku. Tidak bolehkah aku menyelesaikan
sekolahku disini?”
“Jika
itu yang kau mau, baiklah. Aku akan mencoba berbicara pada Eomma. Kau jangan khawatirkan masalah itu. Memang sebaiknya juga
begitu. Kau bisa menjaga Eomma dan Appa disini karena Kyungsoo yang
biasanya menjaga mereka.”
Ku berjalan mundur, menjauh dari pintu
dapur berusaha agar tidak ketahuan bahwa aku tadi menguping pembicaraan kedua kakak
laki-laki ku. Aku terduduk kembali di kursi taman. Memikirkan diriku yang akan
ke Korea. Sebenarnya, bukan masalah untukku untuk pergi kesana. Hanya saja,
masih ada yang mengganjal pikiranku..
****
2 years later..
Kyungsoo Pov
Berada
disini tidak terlalu buruk. Suasanaya tak jauh berbeda dengan Jepang. Langit,
udara, dan alam lingkungannya tak jauh berbeda. Aku disini tinggal bersama Dong
Hae hyung di salah satu apartement di
daerah Gangnam dan menempati kamar Baro hyung
dulu disini. Selama satu tahun lebih disini, aku bersekolah disalah satu
sekolah seni di Seoul. Disana pula, aku menemukan kekasih. Ia bernama Kim Jee
Won. Gadis cantik, rambut panjang sebahu lebih sedikit, dengan perawakan tubuh
yang ideal.
Kami
memang sudah menjalani hubungan sekitar 1 setengah tahun dan kini hubungan kami
semakin merenggang. Sama sekali berbeda dengan yang dulu. Ia seakan menjauhiku.
Sudah beberapa hari ini kucoba menghubunginya, namun ponsel nya tidak aktif.
Sepertinya ia mengganti nomor ponselnya. Disaat kerenggangan itu datang, perhatianku
tertuju pada seorang gadis.
Entah
kenapa setiap gadis itu melintas dihadapanku, pasti sorot mataku tertuju
padanya. Sebenarnya, bukan hanya saat kerenggangan hubunganku dengan Kim Jee
Won saja aku memerhatikan dia saat berjalan atau sekedar duduk di taman
sekolah, melainkan sejak aku bertemu dengannya di salah satu cafe yang tak jauh
dari sekolahku ini. Dia dulu sering ketempat itu. Saat di cafe itu sepertinya
ia sedang menunggu orang, tapi orang itu tidak pernah datang menemuinya. Ia
selalu hanya duduk dan pergi di tempat itu setiap hari. Hingga beberapa bulan
terakhir ia menghentikan kebiasaanya, mungkin ia sudah lelah menunggu orang
itu.
Kutopangkan
kedua sikuku pada dinding pembatas yang berada di atap gedung sekolah ku
sembari melihat pemandangan yang berada dibawahku. Banyak sekali murid-murid
yang berlalu lalang disana. Dari sekian banyaknya orang-orang yang berlalu
lalang aku melihat sosok gadis yang sedang berjalan membawa sebuah buku yang
dipegangnya. Sembari berjalan, ia sibuk membaca kata-kata yang tertulis dibuku
itu.
Ku
hela napasku. Meski aku sudah memperhatikan gadis itu selama 2 tahun ini. Tapi,
aku belum pernah tahu siapa namanya. Aku hanya tahu ia adalah salah satu murid
yang paling banyak mendapat nilai merah di rapotnya. Karena itu pula banyak
guru-guru yang membicarakannya dikantor. Aku juga hanya tau bahwa kelasnya
berada tepat disamping kelasku. Setiap aku ke kantin selalu kusempatkan diriku
untuk sekedar memalingkan kepalaku ke kelasnya untuk sekedar melihat wajah
gadis itu.
Kupejamkan mataku lagi lalu
mendongakkanya keatas, merasakan energi yang diberikan oleh matahari padaku. Ku
kembalikan pandanganku lagi kebawah. Kali ini aku bukan saja melihat kehadiran
gadis itu melainkan juga Kim Jee Won. Anehnya lagi, ia sekarang melihatku.
bukan hanya sekedar melihat, tapi melihatku lekat-lekat. Ku kerut kan keningku
dalam ‘kenapa ia memandangku seperti
itu?’. Ia memandangku hanya sesaat lalu pergi bersama segerombolan
temannya. ‘apa ia melihatku saat aku
sedang memandangi gadis itu? entahlah’.
****
Bel
sekolah sudah berbunyi sedari tadi dan Dong Hae hyung belum juga menjemputku. Dia pasti selalu terlambat
menjemputku. Kali ini kuputuskan untuk tidak menunggunya. Aku ingin berkeliling
Seoul dengan berjalan kaki.
Kupijakkan
kakiku sembari merogoh ponsel yang kutaruh disaku depan celana yang kupakai.
Kuketikkan sebuah pesan ke Dong Hae hyung
supaya tidak menjemputku hari ini. Sesudah tombol send ku sentuh segera kumatikan layar ponsel dan menaruhnya kembali
ke saku celanaku. Dan sebuah pesan singkatku terima.
From: Baro hyung
Kyungsoo-ya... belikan aku minuman
yang seperti biasanya aku beli ya? Aku ingin meminumnya dan aku belum bisa
pulang karena aku harus bertemu dengan seseorang. Bisakah kau membelikannya
untukku dan menaruhnya di lemari pendingin nanti? Sehingga kalau aku sudah
pulang bisa langsung ku minum. Kumohon.
Ku
kembangkan senyumku tipis lalu memasukkan lagi ponselku kedalam saku. Sudah 5
bulan ini Baro hyung ke Seoul lagi.
Tapi, ia ingin tinggal di rumah Paman dan Bibi saja. Alasan ia ke Seoul karena
ia ngin mencari seseorang. Aku tak tau orang itu siapa. Laik-laki ataupun
perempuan. Hanya saja dulu saat Baro hyung
ke Jepang untuk menjenguk Ayah disana dan ia tidur di kamarku, ia sering
menyebutkan sebuah nama.
Ha
Yi. Ia sering sekali menyebut nama itu dalam tidurnya. Aku tak tahu siapa dia.
Mungkin ia kembali ke Korea karena ingin mencari orang ini. Karena ia pernah
berpesan padaku jika mendengar nama itu untuk segera memberitahunya. Orang ini
mungkin penting bagi Baro hyung.
Tak
terasa aku sudah sampai di depan cafe yang kakak laki-lakikukunjungi selama satu bulan disini. Ku hela napasku
dan memasuki cafe ini. Terlihat seorang gadis sedang berada di kasir. Aku tak
terlalu memperhatikannya. Perhatianku tertuju pada deretan kue-kue yang berada
di sudut cafe ini. Sepertinya kue-kue itu baru ditaruh disana hari ini, karena
kemarin saat aku kesini aku yakin bahwa kue-kue itu belum ada.
Setelah berdiri tepat disamping kasir
untuk memesan menu yang akan ku beli seorang pelayan menghampiriku dan
menanyaiku ingin memesaan apa sembari tersenyum. Kubalas senyuman itu dan
menjawab.
“Aku memesan
seperti biasanya saja. Cappuccino yang yang dicampur dengan coffee americano
lalu ditambah dengan susu coklat.”
Ia hanya
mengangguk dan segera membuat minuman yang aku buat. Aku berdiri diam tanpa
melakukan apapun selain melihat pelayan yang sedang membuatkan minuman.
Berulang kali kukerjapkan mataku dan menutup mulutku yang sedang menguap karena
merasa bosan. Namun, mataku membulat saat seorang pelayan yang tepat berada
ditempat kasir sampingku menyebutkan sebuah nama yang ku kenal.
“Nona
Lee Ha Yi?”
Tubuhku
merasa tegang ketika aku melihat sesosok perempuan yang sangat ku kenal
wajahnya. Ia yang sudah 2 tahun ini ku perhatikan saat di Korea. Semua
otot-otot ditubuhku tiba-tiba saja berhenti berfungsi. Aku tak tau harus
bagaimana. Disaat itu pula otakku mulai berpikir sesuatu. Ia mempunyai nama
yang sama dengan nama yang selalu disebutkan oleh Baro hyung saat aku masih di Jepang.
To
be continued....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkomentar ^^