Kamis, 17 April 2014

Destiny Chapter 6



Destiny




The Fact
.
by Aydipal
Editor by Zi_You
.
Watch:
Video Teaser 

 .
Read:
Chapter 1  Chapter 2 | Chapter 3 | Chapter 4Chapter 5 | Now 
.
Title : Destiny | Main Cast : Lee Ha Yi, DO Kyung Soo (EXO-K), Baro (B1A4) | Other Cast : Henry Lau (Super Junior M), Park Hyung Shik (ZE:A) | Genre : Romance, School Live| Duration : Chapter
.
Happy reading!
.
.
.


-Flashback-
Musim Panas, Juli 2010

Baro POV
Ku hirup udara di musim panas tahun ini. Sangat menyenangkan. Dapat kurasakan hembusan angin yang berhasil menerpa lapisan kulit luar tubuhku lembut. Berkali-kali ku kembangkan senyuman diwajahku. Meski entah berapa tahun aku telah bertempat tinggal di Seoul, aku masih saja kagum dibuatnya. Kembali, ku tarik tali tas punggung yang kupakai, yang sudah lama, bertengger rapi dipunggungku. Tas ini terasa sangat berat karena kakak laki-lakiku, menyuruhku untuk mengambil kotak obat dari rumah bibi yang tak jauh dari sekolahku. Alhasil, tasku yang sudah dipenuhi oleh buku-buku pelajaran, yang cukup membuat punggungku bungkuk jika dipakai dalam jangka waktu lama, bertambah beban lagi ketika kotak obat ini berada di dalamnya.
Ku menghela napas, lalu mempercepat lagi langkahku untuk sampai kerumah. Beban berat di punggung membuatku harus menundukkan kepala agar beban beratnya tidak terlalu kurasakan. Lama berjalan, hingga tubuhku menabrak seseorang.

BUUKK
Sebuah suara tercipta ketika tubuhku berhasil menabrak tubuh seseorang. Ku angkat kepalaku. Ku lihat seorang gadis tersungkur di hadapanku. Diriku yang dibuat panik olehnya hanya menggaruk-garuk kepalaku yang tak gatal. Aku ingin menolongnya untuk berdiri. Namun, tas punggung yang kubawa sangat menganggu meski hanya untuk sekedar membungkukkan badan. Karena itu segera ku lepas tas punggung yang kupakai, meletakkannya pada sisi sebuah pohon pembatas jalan yang tepat berada disamping gadis yang masih dalam posisinya.
Mianhamnida.” ucapku lalu menjongkokkan badanku dan menolongnya berdiri.
Ku pegang lengan kanannya. Sepintas kulihat ekspresi wajahnya yang masih mengernyit kesakitan. Tak lama kemudian ia membersihkan lututnya yang kotor dengan tangan kiri. Ia menatapku, membuatku mengajukan sebuah pertanyaan padanya.
“Apa kau baik-baik saja, Nona?”
Nan Gwenchana-yo
Jawabnya cepat yang tak berhasil membuatku tak khawatir. Mataku menyusuri tubuh mungilnya yang mungkin terluka. Dan, Gotcha! Terdapat goresan luka di siku tangan kirinya. Ku hela napasku memandang gadis berparas cantik itu. Ia hanya tersenyum samar karena tertangkap basah berbohong olehku.
“Mari ku obati lukamu.”
Ajakku mengambil tas yang kuletakkan lalu meraih jemari tangan kanannya yang tak terluka dan menariknya mengikuti langkahku. Sebenarnya, aku tak tau harus membawanya kemana. Aku hanya berjalan lurus ke depan saja. Dan benar saja, aku lupa kalau dideretan jalan ini, ada cafe kesukaanku yang biasanya sering kukunjungi bersama kakak laki-lakiku. Segera kupijakkan langkahku menuju cafe itu.
Sesampainya ditempat itu, segera ku keluarkan kotak obat dari tasku. Ternyata ada untungnya juga ku membawa kotak obat yang berat seperti ini jika akhirnya aku dapat menolong orang yang ku tabrak. Perlahan, ku bersihkan luka gadis itu dengan kapas. Sesekali, ia mengernyit dan menggertakkan rahangnya menahan sakit.
“Selesai. Untung saja aku membawa kotak obat ini. Kau baik-baik saja kan, Nona?” ucapku setelah selesai mengobati gadis ini. Ia hanya tersenyum dan menjawab sekenanya saja.
Ku memesan minuman untuk kami pada salah satu pelayan yang sedari tadi berdiri menunggu pelanggan dari samping tempat kasir. Ia hanya mengangguk ringan dan tak lama kemudian minuman yang kami pesan telah sampai. Aku senang menyambutnya. Sudah satu minggu ini,aku tak merasakan minuman ini. Tanpa sadar, gadis yang berada di hadapanku melihatku dengan tatapan aneh.
“Minuman apa yang kau minum itu? Kenapa aku seperti baru melihatnya pertama kali?” tanya gadis itu dan hanya ku sambut dengan senyuman tipis. Aku sudah biasa menerima pertanyaan seperti itu lengkap dengan ekspresi yang aneh sama dengan apa yang dilakukan oleh gadis ini.
“Ini? Ini adalah cappuccino yang kucampur dengan coffee americano lalu ditambah dengan susu coklat..” ia membulatkan kedua bola matanya tak percaya. Aku yakin, ia baru pertama kali mendengar komposisi minuman seperti ini. Tapi aku hanya membalas ekspresi keanehannya itu dengan santai. Karena lagi-lagi aku sudah terbiasa dengan ekspresi orang yang terkejut setelah mendengar komposisi minuman yang kuminum.
“Mwo? Apa itu tidak apa-apa? Dari tampilannya saja tidak menyakinkan untuk meminum minuman itu.” Ia masih pada ekspresi yang sama. Aku hanya menghela napasku ringan dan menyodorkan minuman yang berada di tangan kananku.
“Mau coba?”
“Apa kau yakin ini tidak akan membunuhku?”
“Buktinya saja, aku masih hidup sampai sekarang..”
“Ah.. Molla. Aku tidak akan meminumnya.”
“Baiklah. Terserah apa maumu.”
Segera kuminum kembali minumanku setelah tawaranku ditolak mentah-mentaholehnya. Dan diriku sendiri pun, tidak akan memaksanya untuk meminum minumanku. Aku tidak menjamin kalau ia akan menyukai rasa yang dianggap oleh orang lain sangat oddly yang menurutku sendiri rasa ini sangat tasty.
Satu detik berlalu, dua detik berlalu, tak terasa detik demi detik kulewati sangat cepat saat aku mulai mengenal gadis ini. Hari-hari kulewati bersama gadis ini di tempat cafe yang sering kukunjungi. Hubungan kami pun semakin dekat dan dekat. Tanpa kusadari, bahwa kami  telah menjalani hubungan yang semakin dekat selama dua bulan lebih tanpa mengetahui nama satu sama lain. Bahkan, nomor handphone wanita itu di handphoneku hanya kunamai Geu Yeoja saja. Sagat menyedihkan. Karena itu, sekarang kuputuskan mengajaknya berkenalan dengan cara yang benar, lalu memulai dari awal lagi hubungan kami dan memberikannya sebuah benda yang sangat kusayangi.
Kami telah duduk di salah satu tempat duduk yang kosong di cafe tempat kami sering bertemu. Keheningan yang tak biasanya kurasakan jika berada disekitarnya, kini terjadi padaku. Tidak biasanya aku kehilangan semua kata-kata yang sudah kupersiapkan dari rumah untuk membuka percakapan dengannya. Berulang kali ku hembuskan napasku, mengatur emosi. Rasa gugup mulai menguasai tubuhku. Semakin ku menahan atau menghilangkan rasa gugup itu, maka akan semakin menjadi-jadi.
Ia membuka percakapan dahulu di antara kami. Aku hanya dapat bersyukur akhirnya ada sebuah kata yang dapat ia dengar dari gadis yang sudah sekian lama duduk di depannya diam.
“Sebenarnya... Ini.”
Ku mengatur napasku yang naik turun. Memberanikan diri menyerahkan benda kesayanganku milik nenek yang diberikan padaku. Sebuah kalung yang terdapat simbol musik disana. Yaitu simbul kunci G. Ia awalnya bingung dan sekali lagi kuberanikan diriku untuk memakaikan kalung itu padanya. Setelah selesai memakaikannya, tak terbesit sedikitpun penyesalan dalam hati ketika benda kesayanganku berpindah tangan padanya. Ia nampak cocok sekali memakai kalung ini dan terlihat sangat cantik.
Aku terkesiap, terpukau melihat gadis ini semakin cantik dan cantik ketika ku melihatnya. Kurasa, ia adalah cinta pertamaku. Cinta pertama yang kuperoleh dari sebuah kotak obat yang membuat tasku berat dan akhirnya membuatku harus bertabrakan dengannya di jalan. Aku seharusnya berterima kasih pada kakak laki-lakiku, karena sudah menyuruhku mengambil kotak itu dari rumah bibi.
“Siapa namamu?”
Akhirnya ku mulai mengucapkan kalimat yang sudah kupersiapkan dari rumah dan sudah ku peragakan bagaimana seharusnya ekspresi yang harus kutunjukkan dari depan kaca kamarku.
“Lee Ha Yi.”
Aku menghela napas lega. Karena akhirnya ia menjawab juga pertanyaanku. Ha Yi, nama yang cantik yang sangat serasi dengan wajahnya yang cantik sekaligus imut. Aku tersenyum mendengarnya. Ia lalu mengajukan sebuah pertanyaan padaku setelah ku kubertanya dimana rumahnya. Ia belum bertanya namaku. Melainkan, dimana rumahku berada. Pertanyaannya yang pertama ku jawab dengan singkat, jelas, dan padat. Aku tak ingin bertele-tele dan membuatku semakin gugup.
“Nama?” Akhirnya pertanyaan itu terdengar juga ditelingaku. Sudah seharusnya ia menanyakannya.
“Nama? Namaku—” belum sempat meneruskan kalimatku, sebuah suara tercipta dari saku jas yang kupakai. Segera kuambil ponsel yang sedang berdering itu dan mendapati sebuah nama tertera di layar. Disana tertulis penelpon bernama Kyungsoo. Ku mengerutkan keningku dan meminta izin pada Ha Yi untuk meninggalkannya sebentar, menjawab telepon.
“Kyungsoo-ya! Ada apa kau menghubungiku?” tanyaku pada adik angkatku. Ia anak angkat dari orang tuaku. Meski begitu aku sangat menyayanginya dan menganggapnya seperti adikku sendiri.
Hyung! Cepat pulang ke Jepang! Appa! Appa! Appa tadi pingsan dan sekarang berada di ruang ICU! Sepertinya penyakit Appa kambuh!” nada panik dapat kurasakan dari ujung telepon yang berhasil pula mempengaruhiku untuk panik juga. Segera ku tutup sambungan teleponku dengan Kyungsoo dan langsung mencari taksi untuk segera pergi ke bandara dan mencari tiket pesawat untuk ke Jepang secepatnya.
Dalam perjalanan, ku sempatkan mengirimi Ha Yi sebuah pesan singkat untuk tidak menungguku. Terbesit rasa penyesalan di dalam benakku meninggalkan Ha Yi sendirian disana. Meski ia sudah mengiriminya sebuah pesan dan sudah pula meminta maaf di pesan itu, tetap saja ada yang mengganjal di pikirannya.
Taksi yang kunaiki telah berhenti melaju dan telah terparkir rapi disamping jalan bandara. Kini, waktunya ku harus keluar dari tempat ini. Segera ku ambil uang yang terdapat di tasku dan melesat keluar. Pertama yang kucari adalah kamar mandi. Sangat tidak lucu jika ada penumpang yang memakai baju seragam sekolah saat naik ke pesawat. Untung saja hari ini ada pelajaran olahraga. Setidaknya aku dapat mengganti celanaku dengan celana training dan memakai jaket yang kupakai.
Setelah selesai, segera ku menuju tempat tiket untuk mencari tahu kepergian pesawat ke Jepang yang terdekat. Baru dalam perjalanan kesana tiba-tiba saja aku lupa bahwa aku tidak membawa passport. Bodoh! Ku mengumpat pada diriku sendiri. Bagaimana bisa ku tidak kerumah dulu untuk mengambil passport? Bodohnya! Berkali-kali kupukuli kepalaku ringan, menggertakkan berkali-kali gigiku hingga seseorang memanggil.
“Baro-ya!! Sini!”
Sebuah suara yang kukenal tiba-tiba saja terdengar ditelingaku. Rasa bahagia menghampiriku ketika tahu bahwa kakak laki-lakiku juga ada dibandara. Kenapa aku lupa kalau di Korea aku tinggal bersama kakak laki-kaliku?Jika ayah sakit, bukankah kakak laki-lakiku itu juga akan ke Jepang? Ah~ Sungguh bodohnya, diriku!
Hyung!”
“Kenapa kau tidak menelpon dulu kalau mau ke bandara? Ini passport-mu dan ini tiketnya. Penerbangan ke Jepang 30 menit lagi, lebih baik kita segera ke pesawat. Kajja!” suara Dong Hae hyung berhasil membuatku bernapas lega. Lalu segera kuikuti tubuh Dong Hae hyung untuk menuju ke pesawat.
****
Hyung!” pekik seseorang setelah melihat kedatanganku di Rumah Sakit dimana ayahku dirawat. Ia adalah Kyungsoo yang terduduk disalah satu bangku disekitar ruang ICU bersama ibuku yang masih terisak menangis. Kupercepat langkahmenghampiri mereka, sedangkan Dong Hae hyung masih berada di parkiran rumah sakit mengambil barang yang ia tinggalkan saat kami baru saja sampai berada di lobi rumah sakit.
Hyung! Appa~ dia disa—” Belum sempat Kyungsoo meneruskan perkatannya, segera ku peluk ia ringan lantas menahan air mata yang sudah berada dipelupuk mataku. Aku tak ingin terlihat lemah di hadapan adik laki-laki-kuini. Aku tak ingin melihatnya menjadi lebih sedih ketika melihatku menangis.
“Ia akan baik-baik saja, Kyungsoo-ya. Percayalah pada hyung.” ucapku meyakinkannya. Ia hanya membalasku dengan anggukan. Meski tanpa ia sadari, ia masih saja menangis. Ku hela napasku pelan, melihat ibuku yang tak bergeming, memegang sapu tangan yang sudah basah akan air matanya. Ku lepas pelukanku pada Kyungsoo dan berjalan ke arah ibuku yang hanya berjarak beberapa langkah saja dari tempatku berdiri.
Eomma.” ucapku lirih terduduk disamping tubuh rapuhnya. Ia tak merespon pertanyaanku. Ia hanya sibuk mengusap air matanya yang terus bergulir di pipi chubby nya. Ku hela napasku lagi ringan lalu mengambil sapu tangan yang berada ditangannya. Dan mengeluarkan sapu tanganku milikku dari jaket yang kupakai untuk menggannti sapu tangannya yang sudah basah kuyup sedari tadi.
“Kuatkan dirimu eomma, appa akan baik-baik saja. Bukankah appa tidak suka melihat eomma menangis? Ia sama sekali tidak suka melihat eomma menangis karena eomma terlihat sangat tidak cantik. Jadi, bisakah eomma tersenyum?” bujukku pada wanita yang berumur 30-an ini sesekali mengembangkan senyumanku. Ia hanya melihatku sekilas dari mata sendunya lalu mengembangkan senyuman sekenanya saja.
CEKLEK
Sebuah suara berasal dari pintu ruang ICU berhasil membuatku segera berdiri dan menghampiri sekelompok orang yang keluar dari sana. Ia adalah dokter dan perawat.
“Bagaimana keadaan Appa saya, dokter? Apa dia baik-baik saja?” suara gemetar kudengar setelah Dong Hae hyung bertanya, entah sejak kapan ia sudah datang ketempat ini. Hatiku menjadi sedikit resah ketika dokter belum juga menawab pertanyaan dari kakak laki-lakiku.
“Dia akan baik-baik saja setelah istirahat yang cukup dan kami akan segera memindahkannya keruangan pasien biasa. Mohon untuk keluarga jangan terlalu khawatir. Dan pasien sekarang belum bisa dijenguk, mungkin besok baru bisa karena ia harus beristirahat terlebih dahulu.”
“Terimakasih dokter.” ucapku ketika melihat punggung dokter itu menjauh dari kami. Napas lega dapat kukeluarkan setelah mendengar jawaban dari dokter. Ayah akan baik-baik saja. Kini juga dapat kulihat raut wajah lega dari ibu yang segera dibantu duduk oleh Dong Hae hyung. Sedangkan Kyungsoo hanya berdiri ditempatnya semula dan berkali-kali menghembuskan napasnya dalam. Ku tersenyum samar lalu menghampiri Kyungsoo.
“Bukankah sudah kubilang bahwa ia akan baik-baik saja, Kyungsoo-ya.” ku tepuk bahu kanannya ringan selagi mengembangkan senyumanku senormal dan semanis mungkin, berusaha menjadikannya lebih baik ketika melihatku tersenyum.
Ne hyung.” jawabnya membalas senyumanku tipis lalu merundukkan kepalanya lagi. Ku hela napasku ringan lalu menepuk bahu kanannya dua kali.

****

Kyungsoo POV
Kuhempaskan tubuhku pada bantalan empuk yang terjajar rapi di sofa. Ku pandangi langit-langit rumah kami dan sesekali menghenghela napas dalam dan memejamkan kedua kelopak mata. Memikirkan nasib ayahnya yang berada di rumah sakit. Meskipun aku hanyalah anak angkat saja, tapi aku sangat menyayangi keluarga baruku ini.
Kuedarkan pandangan mataku ke arah dapur. Seharian khawatir dirumah sakit sangat menguras tenagaku. Sudah berkali-kali cacing-cacing yang berada di dalam perutku merengek ingin diberi makan. Segera ku bawa diriku ke dapur. Lalu kubuka lemari pendingin berpintu dua itu, mencari makanan-makanan apa saja yang bisa kumakan. Dan benar saja, disana tidak ada satu pun makanan. Hanya ada air putih dan beberapa botol yag sudah kosong.
“Ah~” keluhku setelah melihat keadaan seperti ini. ‘Haruskahku pergi mencari makanan?’ Pikirku dalam hati. Aku tak ada energi untuk keluar rumah saat ini. ‘Lebih baik aku minum sajalah’, segera ku tenggak botol minuman itu. Yang semulanya penuh, kini hanya tersisa sebagian saja. ‘Setidaknya, ini lebih baik dari pada tidak sama sekali.’
“Kyungsoo-ya~” suara seseorang berhasil mengejutkanku dan hampir saja membuatku menjatuhkan botol ini dikarenakannya. Segera ku tempatkan botol itu ketempat semula dan menutup pintu lemari pendingin. Kaki ku menuju ke sumber suara.
Seperti suara Baro hyung, pikirku.
Hyung?” ucapku setelah melihat kakak laki-laki ku yang satu ini membawa dua kantong plastik putih besar disamping-samping tubuhnya. Ku mengerutkan keningku dalam, bingung apa yang kini ia bawa. Baro hyung hanya berjalan saja meninggalkanku yang masih kebingungan ke ruang tamu. Ia tak banyak bicara, hanya segera membuka kantong plastiknya itu.
“Uah~~ makanan!!” ucapku girang seketika melihat hamparan makanan yang sekarang berada dihadapanku. Berkali-kali kutelan air liurku yang keluar.
“Kenapa hanya diam saja? Bukankah kau lapar. Makan saja semua.” Ucap Baro hyung mempersilahkanku. Dan ini tidak bisa aku sia-siakan. Segera ku ambil satu-satu masakan itu tanpa mempersilahkan Baro hyung karena saking bersemangatnya.
Hyung, kau tidak lapar?”
“Tidak, makan saja semuanya”

Baro Pov
“Tidak, makan saja semuanya.” kuhempaskan tubuhku pelan pada sofa yang terjajar rapi di ruang tamu selagi Kyungsoo menyantap makanannya. Dia terlihat sangat lapar. Ku taruh tangan kananku di belakang kepala, menjadikan tanganku sebagai tindihan. Ku lihat langit-langit rumah dan tanpa sengaja aku teringat sesuatu.
Ha Yi.. kenapa aku tidak mencoba menghubunginya’, pikirku. Segera ku rogoh ponsel yang berada di saku depan celana yang kupakai. Mengetik sebuah pesan kepadanya. Baru mengetik sebagian pesanku Dong Hae hyung tiba-tiba saja mengagetkanku.
“Baro-ya, kau tidak makan?”
Ne hyung? Ah~ Ani. Aku sudah makan tadi.”
Ku singgungkan senyumku. Dan kualihkan pandanganku cepat ke ponselku lagi, meneruskan ketikanku pada Ha Yi. Baru mengetik satu kalimat lagi, Kyungsoo mengangguku.
Hyung, bagaimana kalau besok kita jalan-jalan? Bukankah kau baru ke Jepang hari ini?”
“Em” jawabku singkat pada Kyungsoo dan berhasil membuatnya mendengus pelan karena jawabanku. Ku kerutkan keningku dalam. Aku masih bingung kalimat apa selanjutnya untuk mengirimi Ha Yi pesan. Sudah beberapa kali ia menulis dan menghapusnya lagi.
Hyung, apa yang kau lakukan? Kau mau aku bantu? Memang kau sedang apa?”
“Ya!! Sireo! Ka~! Kenapa kalian berdua mengangguku saja. Ah~ Michigata!”
Ucapku pada Kyungsoo. Ia hanya tersenyum geli dan sekarang duduk disamping Dong Hae hyung yang berbisik-bisik pada Kyungsoo. Kuputuskan berjalan menjauh dari mereka ke kaca dekat sebuah televisi yang bertengger disana. Baru mengetik satu kata, tiba-tiba saja ponsel yang semula berada di tanganku berpindah tangan.
“Ya hyung!!! Mwohae?!! Kembalikan ponsel ku! Palli!” ucapku mengejar Dong Hae hyung yang membawa ponselku ditangannya dan menganggkat setinggi-tingginya. Kyungsoo hanya terkekeh di sofa melihat kami yang bekejar-kejaran.
“Kyungsoo-ya!” ucap kakak laki-lakiku yang langsung melemparkan ponsel ku tepat ke tempat duduk Kyungsoo. Kyungsoo langsung berlari dan sekarang membacakan pesanku keras-keras.
“’Lee Ha Yi, apa yang sedang kau lakukan? Apa kau merindukanku? Mian, karena tadi meninggalkanmu sendirian disana.’ Mwoya? Kau sudah punya pacar di Seoul,hyung?” tanya Kyungsoo sembari berlari kesana kemari.
“Ya! Kembalikan ponsel ku Kyungsoo-ya!! Kau ingin mati ditanganku, hah?” gertakku pada Kyungsoo. Ia hanya terkekeh dan mengejekku dengan memainkan bokongnya.
Aigoo~ jinjja! dia benar-benar ingin mati di tanganku!’.

****

Kyungsoo Pov
Sudah dua bulan ini ayah di rawat di kamar biasa rumah sakit dan sudah dua bulan ini pula Baro hyung berada di rumah ini. Aku senang karena setidaknya aku ada teman bicara yang seumuran denganku. Ku hela napasku. Aku masih memikirkan perkataan ibu yang menyuruhku bersekolah di Seoul saja bersama Baro hyung. Ibu juga berkata disana juga ada yang menjagaku yaitu Dong Hae hyung, Paman, dan Bibi.
Kuedarkan mataku pada tumbuhan-tumbahan yang indah dan tertata rapi di taman belakang rumahku. Aku sudah lama tidak duduk-duduk di tempat ini. Rasanya menyejukkan rongga paru-paru ku. Ku hirup napasku dalam-dalam, tiba-tiba saja aku mendengar suara berisik dari arah dapur. Ku kerutkan keningku, ‘suara apa itu?’ segera ku langkahkan kakiku menuju seumber suara.
“Aku mau tinggal disini dulu hyung, kau bisa membawa Kyungsoo dulu kesana. Aku masih ingin bersama Appa dan Eomma. Aku bisa menyelesaikan sekolahku dulu disini. Aku sangat merindukan kampung halamanku. Bolehkah hyung? Kumohon.” Kulihat Baro hyung sedang berbincang dengan Dong Hae hyung. Sepertinya mengenai kepergiannya ke Korea.
Jinjja? Kau tidak mau ke Korea? Kau mau disini? Aku tahu kau sangat mengkhawatirkan Appa. Tapi bukankah dokter sudah bilang dia akan baik-baik saja. Sudahlah, Baro-ya.. kau jangan khawatir.” Bujuk Dong Hae hyung.
“Sungguh hyung, aku ingin berada disini dulu. Aku ingin bersama Appa dan Eomma. Bukankah sudah ku bilang tadi? Bahwa aku juga rindu dengan kampung halamanku. Tidak bolehkah aku menyelesaikan sekolahku disini?”
“Jika itu yang kau mau, baiklah. Aku akan mencoba berbicara pada Eomma. Kau jangan khawatirkan masalah itu. Memang sebaiknya juga begitu. Kau bisa menjaga Eomma dan Appa disini karena Kyungsoo yang biasanya menjaga mereka.”
Ku berjalan mundur, menjauh dari pintu dapur berusaha agar tidak ketahuan bahwa aku tadi menguping pembicaraan kedua kakak laki-laki ku. Aku terduduk kembali di kursi taman. Memikirkan diriku yang akan ke Korea. Sebenarnya, bukan masalah untukku untuk pergi kesana. Hanya saja, masih ada yang mengganjal pikiranku..

****

2 years later..
Kyungsoo Pov
Berada disini tidak terlalu buruk. Suasanaya tak jauh berbeda dengan Jepang. Langit, udara, dan alam lingkungannya tak jauh berbeda. Aku disini tinggal bersama Dong Hae hyung di salah satu apartement di daerah Gangnam dan menempati kamar Baro hyung dulu disini. Selama satu tahun lebih disini, aku bersekolah disalah satu sekolah seni di Seoul. Disana pula, aku menemukan kekasih. Ia bernama Kim Jee Won. Gadis cantik, rambut panjang sebahu lebih sedikit, dengan perawakan tubuh yang ideal.
Kami memang sudah menjalani hubungan sekitar 1 setengah tahun dan kini hubungan kami semakin merenggang. Sama sekali berbeda dengan yang dulu. Ia seakan menjauhiku. Sudah beberapa hari ini kucoba menghubunginya, namun ponsel nya tidak aktif. Sepertinya ia mengganti nomor ponselnya. Disaat kerenggangan itu datang, perhatianku tertuju pada seorang gadis.
Entah kenapa setiap gadis itu melintas dihadapanku, pasti sorot mataku tertuju padanya. Sebenarnya, bukan hanya saat kerenggangan hubunganku dengan Kim Jee Won saja aku memerhatikan dia saat berjalan atau sekedar duduk di taman sekolah, melainkan sejak aku bertemu dengannya di salah satu cafe yang tak jauh dari sekolahku ini. Dia dulu sering ketempat itu. Saat di cafe itu sepertinya ia sedang menunggu orang, tapi orang itu tidak pernah datang menemuinya. Ia selalu hanya duduk dan pergi di tempat itu setiap hari. Hingga beberapa bulan terakhir ia menghentikan kebiasaanya, mungkin ia sudah lelah menunggu orang itu.
Kutopangkan kedua sikuku pada dinding pembatas yang berada di atap gedung sekolah ku sembari melihat pemandangan yang berada dibawahku. Banyak sekali murid-murid yang berlalu lalang disana. Dari sekian banyaknya orang-orang yang berlalu lalang aku melihat sosok gadis yang sedang berjalan membawa sebuah buku yang dipegangnya. Sembari berjalan, ia sibuk membaca kata-kata yang tertulis dibuku itu.
Ku hela napasku. Meski aku sudah memperhatikan gadis itu selama 2 tahun ini. Tapi, aku belum pernah tahu siapa namanya. Aku hanya tahu ia adalah salah satu murid yang paling banyak mendapat nilai merah di rapotnya. Karena itu pula banyak guru-guru yang membicarakannya dikantor. Aku juga hanya tau bahwa kelasnya berada tepat disamping kelasku. Setiap aku ke kantin selalu kusempatkan diriku untuk sekedar memalingkan kepalaku ke kelasnya untuk sekedar melihat wajah gadis itu.
Kupejamkan mataku lagi lalu mendongakkanya keatas, merasakan energi yang diberikan oleh matahari padaku. Ku kembalikan pandanganku lagi kebawah. Kali ini aku bukan saja melihat kehadiran gadis itu melainkan juga Kim Jee Won. Anehnya lagi, ia sekarang melihatku. bukan hanya sekedar melihat, tapi melihatku lekat-lekat. Ku kerut kan keningku dalam ‘kenapa ia memandangku seperti itu?’. Ia memandangku hanya sesaat lalu pergi bersama segerombolan temannya. ‘apa ia melihatku saat aku sedang memandangi gadis itu? entahlah’.

****

Bel sekolah sudah berbunyi sedari tadi dan Dong Hae hyung belum juga menjemputku. Dia pasti selalu terlambat menjemputku. Kali ini kuputuskan untuk tidak menunggunya. Aku ingin berkeliling Seoul dengan berjalan kaki.
Kupijakkan kakiku sembari merogoh ponsel yang kutaruh disaku depan celana yang kupakai. Kuketikkan sebuah pesan ke Dong Hae hyung supaya tidak menjemputku hari ini. Sesudah tombol send ku sentuh segera kumatikan layar ponsel dan menaruhnya kembali ke saku celanaku. Dan sebuah pesan singkatku terima.


From: Baro hyung
Kyungsoo-ya... belikan aku minuman yang seperti biasanya aku beli ya? Aku ingin meminumnya dan aku belum bisa pulang karena aku harus bertemu dengan seseorang. Bisakah kau membelikannya untukku dan menaruhnya di lemari pendingin nanti? Sehingga kalau aku sudah pulang bisa langsung ku minum. Kumohon. 


Ku kembangkan senyumku tipis lalu memasukkan lagi ponselku kedalam saku. Sudah 5 bulan ini Baro hyung ke Seoul lagi. Tapi, ia ingin tinggal di rumah Paman dan Bibi saja. Alasan ia ke Seoul karena ia ngin mencari seseorang. Aku tak tau orang itu siapa. Laik-laki ataupun perempuan. Hanya saja dulu saat Baro hyung ke Jepang untuk menjenguk Ayah disana dan ia tidur di kamarku, ia sering menyebutkan sebuah nama.
Ha Yi. Ia sering sekali menyebut nama itu dalam tidurnya. Aku tak tahu siapa dia. Mungkin ia kembali ke Korea karena ingin mencari orang ini. Karena ia pernah berpesan padaku jika mendengar nama itu untuk segera memberitahunya. Orang ini mungkin penting bagi Baro hyung.
Tak terasa aku sudah sampai di depan cafe yang kakak laki-lakikukunjungi selama satu bulan disini. Ku hela napasku dan memasuki cafe ini. Terlihat seorang gadis sedang berada di kasir. Aku tak terlalu memperhatikannya. Perhatianku tertuju pada deretan kue-kue yang berada di sudut cafe ini. Sepertinya kue-kue itu baru ditaruh disana hari ini, karena kemarin saat aku kesini aku yakin bahwa kue-kue itu belum ada.
Setelah berdiri tepat disamping kasir untuk memesan menu yang akan ku beli seorang pelayan menghampiriku dan menanyaiku ingin memesaan apa sembari tersenyum. Kubalas senyuman itu dan menjawab.
“Aku memesan seperti biasanya saja. Cappuccino yang yang dicampur dengan coffee americano lalu ditambah dengan susu coklat.”
Ia hanya mengangguk dan segera membuat minuman yang aku buat. Aku berdiri diam tanpa melakukan apapun selain melihat pelayan yang sedang membuatkan minuman. Berulang kali kukerjapkan mataku dan menutup mulutku yang sedang menguap karena merasa bosan. Namun, mataku membulat saat seorang pelayan yang tepat berada ditempat kasir sampingku menyebutkan sebuah nama yang ku kenal.
“Nona Lee Ha Yi?”
Tubuhku merasa tegang ketika aku melihat sesosok perempuan yang sangat ku kenal wajahnya. Ia yang sudah 2 tahun ini ku perhatikan saat di Korea. Semua otot-otot ditubuhku tiba-tiba saja berhenti berfungsi. Aku tak tau harus bagaimana. Disaat itu pula otakku mulai berpikir sesuatu. Ia mempunyai nama yang sama dengan nama yang selalu disebutkan oleh Baro hyung saat aku masih di Jepang.
‘Apa kau adalah orang yang dicari oleh hyung-ku?’


To be continued....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar ^^